Saya sendiri memilih cukup dengan motor peninggalan Bapak: Karisma 125D tahun 2005. Tua sekali bukan? Motor itu sudah berusia 18 tahun, namun masih membuat saya aman dan nyaman.
Banyaknya berita pencurian dan begal untuk motor baru membuat saya urung untuk memperbaruinya. Biarlah saya memakai motor tua yang tidak bisa ngebut-ngebutan namun bisa mengantarkan saya selamat sampai rumah.
Sedangkan untuk mobil, saya masih enggan membeli karena merasa akan jarang sekali dipakai.
Sehari-hari bekerja, saya lebih suka menaiki bus karena bisa ditinggal tidur. Sedangkan untuk pergi ke tempat wisata saya lebih suka naik kereta atau MRT yang cepat dan harganya terjangkau.
Meski terkadang harus berdesakan ketika jam ramai, hal itu masih lebih baik dibanding harus mengendarai mobil dan menghadapi kemacetan Jakarta yang tidak ada habisnya.
Belum lagi penyusutan harga kendaraan dan biaya tetek-bengek yang harus dikeluarkan bulanan, seperti ganti oli, service, bensin, pajak kendaraan, dan biaya lain yang membuat saya belum juga terpikir untuk beli mobil.
Simpanan aset saya? Tentu saja tabungan! Entah itu tabungan ilmu, pengalaman, maupun koneksi pertemanan.
3. Usia dua puluh lima harusnya sih sudah menikah, punya anak minimal 1, dan tinggal terpisah dari orang tua
Menikah adalah target yang tidak bisa dipisahkan dari seseorang di usia 25. Setelah dianggap mapan karena bekerja, mereka di usia 25 juga dianggap mampu untuk membina rumah tangga.
Faktanya, pernikahan adalah perkara yang cukup rumit.
Menyatukan dua kepala dan dua keluargaa membutuhkan kesiapan lebih dari pekerjaan dan keuangan yang mapan, tetapi juga mental, ilmu, serta kerelaan menerima kekurangan dan kekurangan pasangan.