Menerbitkan buku adalah impian bagi setiap penulis. Meski media online kini bisa menjadi pilihan untuk menyimpan karya, namun buku tetap lebih unggul dari segi eksklusivitas.
Permasalahan hadir ketika penerbit menerima terlalu banyak karya dalam waktu yang sama. Alih-alih kesenangan, mereka justru kelabakan dan berujung memasang benteng untuk memilih yang terbaik.
Proses seleksi yang konon memakan waktu hingga enam bulan, tidak jarang membuat penulis akhirnya frustasi. Apalagi dengan kabar penolakan yang terus membayangi. Alhasil, terbentuklah stigma bahwa menerbitkan buku itu sulit.
Beberapa tahun belakangan, pasar menjawab dengan munculnya banyak penerbit indie.
Indie atau independent memiliki arti mandiri, bebas, atau merdeka. Ya, penerbit indie mengakomodir kebutuhan penulis untuk menerbitkan naskahnya secara bebas, tanpa proses seleksi, tanpa aturan harga, atau syarat lain.
Namun layaknya dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, penerbit mayor dan indie juga memiliki kelebihan dan kekurangan yang membuat keduanya mempunyai peminat.
Dari segi biaya, sudah dipastikan bahwa penerbit mayor unggul telak. Mereka akan menggratiskan proses penerbitan bukumu mulai dari editing, layouting, pembuatan cover, hingga distribusi dan pemasaran.
Namun sejatinya pepatah yang mengatakan tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini, kamu akan dikenakan harga dalam bentuk usaha ekstra dalam meracik naskah.
Di penerbit mayor, naskahmu akan bersaing dengan ribuan naskah lain yang mencari peruntungan. Kemampuan menulis, kesegaran ide cerita, dan keberuntungan jelas dipertaruhkan di sini.
Penerbit mayor mengakomodir jumlah besar. Sekali naik cetak, mereka bisa mengeluarkan 1000 hingga 3000 eksemplar (1 eksemplar = 1 buku).
Alhasil, mereka hanya memilih naskah yang benar-benar berkualitas dan menjual demi menutupi biaya percetakan dan mencetak laba.
Dari segi kemudahan terbit, penerbit indie tentu menjadi juaranya. Penerbit ini tidak memberlakukan seleksi, karenanya naskah kamu tidak mungkin ditolak (selama tidak mengandung unsur SARA, pornografi, dan kerusakan moral).
Penerbit indie juga dapat melakukan proses yang ditawarkan penerbit mayor seperti editing, layouting, covering, hingga pendaftaran ISBN sebelum naik cetak. Bedanya, semua itu tidak dilakukan secara gratis.
Kamu perlu membayar sejumlah harga sesuai dengan jasa yang ditawarkan. Namun asiknya, kamu bisa bebas menentukan harga jual (karena kamu juga berperan sebagai penjual).
Terlebih, banyak skill yang bisa kamu tingkatkan alias upgrade dengan menerbitkan buku melalui indie publishing.
Apa saja skill-skill tersebut? Berikut rangkumannya.
Editing adalah skill yang wajib kamu miliki setelah menulis. Bisa menulis tapi tidak bisa mengedit, ibarat bisa memasak tapi tidak tahu bumbu yang pas! Alhasil rasa masakan jadi terasa hambar dan kurang sedap.
Sering kali ketika menulis, kita terlanjur terbawa alur sehingga tidak begitu memerhatikan tanda pembaca, kata sambung juga ejaan.
Maka dari itu perlu dilakukan proses editing guna memperhalus serta memperbaiki kemungkinan kesalahan dalam tulisan.
Dengan editing, pembaca juga akan merasa lebih nyaman karena mata tidak terganggu oleh typo. Dan kalau sudah nyaman sih, biasanya langsung sayang, eh!
Mereka tidak bertanggung jawab mengubah isi atau memperelok alur tulisan demi penyempurnaan naskah. Maka dari itu, kamu sebagai penulis mau tidak mau juga harus berperan sebagai editor.
Cara editing mandiri sebenarnya cukup mudah. Kamu hanya perlu membaca ulang naskahmu: satu, dua, hingga tiga kali.
Dengan membaca ulang, kamu akan tahu letak typo, kesalahan tanda baca, juga keserasian antar kata dan kalimat.
Kamu juga perlu mengetahui ejaan yang disempurnakan, kata baku dan tidak baku, hingga penulisan kata penghubung yang benar.
Hayooo, siapa yang masih bingung (-pun) digabung dan dipisah? Atau bahkan (-di) yang digabung dan dipisah.
Skill editing yang mumpuni bukan hanya dibutuhkan ketika menerbitkan secara indie lho. Di penerbit mayor, skill editing tetap diperlukan untuk memperbesar peluang naskahmu tembus meja redaksi.
2. Desain Cover
Beberapa penerbit indie memang menyediakan jasa pembuatan cover. Namun tidak jarang juga mereka yang menyerahkan desain cover kepada penulis.
Bagi sebagian orang (awam), desain dianggap sesuatu yang rumi karene berhubungan erat dengan pemakaian aplikasi tingkat tinggi seperti Photoshop, Corel Draw, Adobe Illustrator, dan lain-lain.
Ah, siapa yang tidak bisa mengoperasikan Ms. Word? Seingat saya, Ms. Word adalah aplikasi pertama yang saya kuasai berkat tampilannya yang sederhana, dan pengoperasiannya yang mudah.
Ada tiga unsur dalam cover yang perlu kamu perhatikan: gambar atau ilustrasi, jenis huruf dan tata letak.
Untuk gambar, kamu bisa memilih untuk membuatnya sendiri atau membeli dari situs berbayar.
Pengambilan gambar secara langsung dari Google tidak disarankan karena bisa menyangkut hak cipta. Belum lagi resolusi yang kamu dapatkan juga tidak akan besar.
Para kreateor Pexels bahkan tidak mewajibkan pemakai gambarnya untuk menggunakan kredit, namun tentu mereka akan senang jika kamu mencantumkannya, apalagi memberikan donasi.
Selain Pexels, ada juga Unsplash, Pixabay, dan Max Pixel.
Untuk jenis huruf, kamu bisa menambah koleksi dengan mengunduh di website yang menyediakan font gratis untuk kepentingan komersial, seperti 1001 Fonts.
Gambar sudah, huruf sudah, kini saatnya meramu!
Kamu bisa melakukan surfing di internet untuk mencari inspirasi dalam pembuatan cover. Setelahnya, kamu bisa meminta teman untuk mereview hasil covermu.
Dijamin, saran-saran mereka akan sangat membantu pembuatan cover jadi ciamik!
3. Pemasaran
Berbeda dengan penerbit mayor yang memiliki toko buku besar dan tim pemasaran. Di penerbit indie, kamu yang harus lebih banyak berjuang untuk mempromosikan.
Hal ini dikarenakan penerbit indie yang tidak terintegrasi dengan toko buku offline. Mereka biasanya hanya memiliki website, dan akun media sosial yang pengikutnya mungkin tidak sebanyak penerbit kawakan.
Sebenarnya tidak ada skill khusus yang dibutuhkan dalam berjualan. Hal ini terlihat dari banyaknya teman kita yang berjualan atau berdagang, terlepas apapun profesi mereka.
Tips paling tokcer bagi si sales newbie adalah jangan gengsi; jangan takut!
Saya yakin, kamu pasti sudah tidak asing dengan kata atau kalimat promosi. Setiap hari kalimat itu bersliweran dalam duniamu, mulai dari spanduk, pamflet, iklan di televisi, hingga caption di media sosial.
Yang jadi masalah adalah ketakutan dan kegengsianmu dalam melakukan semua itu. Konon, berjualan itu berarti merendah. Karena kamu 'memohon' orang lain untuk membeli barang daganganmu.
Memang tidak ayal, ada beberapa orang yang membeli karena tidak enak. Namun lebih banyak mereka yang membeli karena melihat 'nilai' dari barang tersebut.
Kamu bisa menerapkan teknik-teknik pemasaran seperti pemberian diskon, bonus merchandise, atau yang sedang trend-mengadakan giveaway!
Hitung-hitung, sambil menyelam minum air kelapa. Bukumu laku, skill pemasaranmu juga berkembang!
--
Tutut Setyorinie,
14 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H