"Nuraninya itu lho dipake. Empatinya pak, ya Allah. Apa tak telponkan saudara saya yang polisi? Gimana? Bintangnya lima jejer-jejer gitu, berani nggak?" -Bu Tejo, 2018.
Mendengar celotehan Bu Tejo seperti melihat kenyataan yang selama ini terjadi di masyarakat kita, dimana sosok yang melawan ibu-ibu dianggap tidak memiliki nurani. Selain itu, memiliki saudara polisi ternyata sangat berharga, karena bisa dipakai dalam perdebatan melawan sesama polisi.
Uhm, apa kamu pernah mencobanya juga?
Meski hobi bergosip, setidaknya ada satu sisi positif yang bisa kita ambil dari sosok Bu Tejo. Adalah sifat solutif yang tertuang pada akhir scene, ketika rencana menjenguk bu lurah harus gagal setelah melewati perjalanan panjang dan menantang polisi.
Yu Ning sebagai pemantik ide menjenguk bu Lurah merasa bersalah dan tidak tahu harus berkata apa. Sedangkan Bu Tejo justru mencetuskan ide solutif untuk mampir ke pasar besar supaya ibu-ibu lain tidak merasa perjalanan panjang ini terlalu sia-sia.
Ya, tidak ada gunanya terus hanyut dalam kesedihan. Seperti kata Bu Tejo: dadi wong ki mbok sing solutif. Jika rencana A gagal, ingatlah bahwa kita masih memiliki rencana B sampai Z untuk menuntaskan.
Jadi, bagaimana Kompasianer, 2020 banyak mengandung tawa dan pelajaran, bukan?
--
Tutut Setyorinie, 26 Desember 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H