Fiksi ilmiah atau yang biasa disebut science-fiction merupakah salah satu genre yang banyak diangkat dalam serial animasi maupun film. Genre ini banyak berkisah tentang perjalanan ruang angkasa, menjelajah waktu, multisemesta, dan juga robot.
Berbeda dengan surealisme, fiksi ilmiah mengembangkan konsep dasar sains dan teknologi yang memang telah ada sebelumnya. Hal ini membuat fiksi ilmiah lebih diterima oleh akal sehat, karena penggambarannya yang sejalan dengan kenyataan.
Lantas, apa saja bentuk dari fiksi ilmiah? Mari kita telusuri bahasan berikut ini.
Fiksi Ilmiah dalam Serial Animasi
Jangan mengaku pecinta animasi, jika belum berkenalan dengan robot kucing berkantong ajaib, ya, Doraemon!
Walau sudah menginjak kepala dua, Doraemon masih menjadi tontonan yang saya tunggu di akhir pekan. Persahabatan Nobita serta petualangannya di negeri ajaib, seakan membuat saya terbang ke masa-masa di mana PR Matematika adalah masalah terberat yang pernah saya alami.
Kalau sekarang? Tentu saja PR Matematika bukan apa-apanya, hehe...
Serial yang tayang pertama kali pada tahun 1962 ini merupakan salah satu animasi yang sukses mengangkat tema fiksi ilmiah. Hal ini diperkuat dengan keberadaan kantong ajaib Doraemon yang mampu mengeluarkan benda-benda di luar kemampuan teknologi masa kini.
Sebut saja baling-baling bambu, pintu kemana saja, senter pembesar, dan yang paling fenomenal: mesin waktu!
Lantas, apakah benda-benda tersebut bukan sekadar bualan?
Pada dasarnya, semua benda-benda ajaib milik Doraemon memiliki pondasi sains dan penjelasan ilmiah. Kita ambil contoh, mesin waktu. Kamu pasti sering mendengarnya bukan?
Penggambaran mesin waktu dalam animasi Doraemon tentu saja lebih mudah, karena target pasar serial ini yang ditujukan untuk anak-anak.
Namun bukan berarti keberadaan mesin waktu mustahil untuk diwujudkan. Berbagai penelitian telah dilakukan para ilmuwan untuk menghadirkan bentuk nyata dari mesin waktu. Hanya saja, zat atau bahan yang diperlukan untuk membelokan ruang dan waktu belum ditemukan hingga saat ini.
Live Action Science-Fiction
Jika kamu butuh penggambaran yang lebih akurat dalam sajian fiksi ilmiah, maka kini saatnya menelusuri film live action sci-fi.
Adalah Interstellar, salah satu film yang banyak mendapat pujian karena telah berhasil menyajikan perjalanan luar angkasa dengan pendekatan ilmiah.
Hal ini membuat peneliti NASA merencanakan sebuah misi pencarian planet baru untuk menggantikan bumi sebagai rumah. Maka dimulailah perjalanan panjang ini: melintasi lubang cacing, berkunjung ke planet-planet baru, hingga memasuki tempat yang konon cahaya saja tidak bisa lolos darinya: ya, lubang hitam!
Selama menonton film, kamu akan disajikan dengan berbagai teori fisika seperti dilatasi waktu, kuantum gravitasi, hingga cryo-sleep atau tidur dalam keadaan beku.
Kejadian paling mistis tentu saja perbedaan umur Cooper (sang tokoh utama, berumur 40 tahunan) dan Murph (anaknya yang digambarkan sebagai murid sekolah dasar) ketika bertemu kembali. Sewaktu berangkat, Cooper dan Murph mungkin memiliki selisih umur sekitar 30 tahun.
Sedangkan ketika bertemu kembali, Murph sudah berumur lebih dari 100 tahun, dan Cooper masih terlihat sama seperti ketika berangkat. Ini membuat otak saya berteriak: kok bisaaa?!
Jawabannya tentu saja bisa. Lagi-lagi hal ini memiliki sangkut paut dengan konsep relativitas umum dan khusus yang digagas oleh Albert Einstein. Waktu itu relatif, jarak juga relatif, satu-satunya yang konstan adalah kecepatan cahaya.
Jadi, ketika kamu bergerak sangat cepat, maka waktu akan berjalan lebih lambat.
Misi perjalanan luar angkasa yang diangkat dalam film Interstellar juga menjadi pembahasan menarik. Ditambah fakta yang selama ini kita rasakan, bahwa keadaan bumi semakin lama memang semakin rusak. Pemanasan global, polusi, penggundulan hutan, serta menipisnya sumber daya alam, menjadi masalah yang tak terelakan.
Kita dihadapi dengan dua pilihan: menjaga bumi agar kerusakannya tidak semakin parah, atau mencari tempat lain untuk dijadikan tempat tinggal. Pilihan pertama tentu saja lebih masuk akal. Mengingat belum ditemukannya planet yang memiliki kemiripan dengan bumi, ataupun teknologi yang dapat mengangkut umat manusia secara besar-besaran.
Meski demikian, perjalanan untuk menemukan planet pengganti bumi sering menjadi topik perbincangan hangat di kalangan masyarakat maupun ilmuwan.
Dilansir dari websitenya, Mars One bertujuan untuk membangun koloni permanen di planet Mars. Hal ini berarti mereka yang pergi ke Mars memang tidak dimaksudkan untuk kembali lagi ke Bumi, alias tiket sekali jalan!
Dengan berbekal pelatihan, pembangunan satelit komunikasi, serta suplai bahan makanan, para astronot terpilih diharapkan mampu beradaptasi di planet yang terkenal dengan warna merahnya ini. Mereka akan melewati enam sampai delapan bulan perjalanan, sebelum akhirnya menjadi kelompok manusia pertama yang tiba pada tahun 2032.
Sayang, pada Januari 2019 Mars One dinyatakan bangkrut sehingga tidak beroperasi lagi.
Kini, impian berkunjung ke planet Mars dilanjutkan oleh sebuah perusahaan transportasi luar angkasa besutan Elon Musk, bernama Space X.
Selain ke Mars, Space X juga memiliki rencana penerbangan komersial ke bulan. Yang artinya, kamu bisa menjadikan bulan sebagai destinasi wisata yang dapat dikunjungi di akhir pekan. Miliader asal Jepang, Osaku Meizawa, bahkan telah menjadi pendaftar pertama dari misi perjalanan ini.
Uhm, kamu tertarik untuk jadi yang ke dua?
"Science is not a subject you took in school. it’s life, we’re wrapped by it, in it, with it. And one’s science literacy should never be viewed as disposable dimension of ones mind – not in this, the 21st century." – Neil deGrasse Tyson
Tutut Setyorinie, 23 Desember 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H