Tahukah kamu bahwa selain dikenal sebagai bulannya Kompasiana, Oktober juga diperingati sebagai bulan bahasa?
Ya, mengingat Oktober sama seperti mengingat Kompasiana. Bulan lahir blog keroyokan yang jatuh pada 22 Oktober kemarin, biasa dinantikan para warganya untuk bersua. Namun sayang, pada perayaan ke dua belas kali ini tampaknya hanya akan menjadi temu virtual akibat pandemi yang belum juga usai.
Untuk menggenapi rindu yang tidak tuntas, saya ingin mengajak Kompasianer untuk merayakan Oktober yang lain, yaitu dalam perayaan bahasa. Saya memilih buku puisi karya penyair legendaris Indonesia, Joko Pinurbo, yang berjudul "Buku Latihan Tidur" untuk kita telusuri bersama.
Bukan Jokpin namanya jika tidak bisa membuat mata terbelalak. Baru dengan membaca judulnya saja, rasa penasaran saya langsung tergelitik.
Buku Latihan Tidur? Yang benar saja. Semua orang bisa tertidur tanpa perlu latihan. Bahkan bayi yang baru lahir bisa dengan mudah tertidur ketika lelah menangis. Seperti bernapas, tidur adalah bakat alami yang dimiliki seseorang sejak dalam kandungan.
Namun tentu saja, ini hanyalah sebuah judul. Adalah tugas seorang penulis untuk membuat judul semenarik dan semisterius mungkin. Dengan demikian, pembaca akan bertanya-tanya, mencari tahu, lalu mengigit jari karena rasa penasaran tak tertahankan lagi dan akhirnya memutuskan membeli. Heuheu
Design yang simple dan ilustratif sejalan dengan selera anak muda yang lebih mementingkan estetika. Ya, kata-kata "don't judge a book by its cover" tampak tidak terlalu berlaku sekarang. Mau bagaimana pun, cover adalah benteng pertama sebelum seseorang memutuskan untuk membeli atau tidak (meski beberapa orang menganut paham subjektif alias percaya dengan penulis tertentu).
Setelah cover, blurb juga memegang peranan yang tidak kalah penting dalam sebuah promosi. Blurb atau uraian singkat yang biasa terletak di belakang buku memiliki tugas utama untuk membuka sedikit jendela dari isi buku. Ingat ya, hanya sedikit. Jangan sampai keseluruhan cerita tumpah ruah sehingga pembaca merasa tidak penasaran lagi.
...ketika induk kalimat bilang pulang, anak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung. Ruang penuh raung. Segala kenang tertidur di dalam kening. Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal. -Joko Pinurbo, 2017.
Dalam blurbnya, Joko Pinurbo menekankan pada kata-kata yang memiliki kemiripan aksara. Seperti pada kata pulang dan palung, kenang dan kening, mata dan mati, serta tunggal, tinggal dan tanggal.
Permainan diksi inilah yang membuat saya akhirnya yakin untuk mencheck-out buku setebal 68 halaman ini dari keranjang belanja.
Garis dan bentuknya tersusun rapi, seperti dikerjakan profesional dalam mesin ilustrasi. Meski tak bewarna, ilustrasi ini cukup menimbulkan kegaduhan tanda tanya seperti: mengapa wanita bertubuh ranting? atau mengapa ada rumah di atas pohon?
Namun saya tidak akan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu karena teringat bahwa "gambar hanya sebagai pemanis", meski ada es teh yang lebih manis. Hehehe...
Buku Latihan Tidur membagi puisi ke dalam enam bagian. Pada bagian pertama, Jokpin banyak membahas tentang bahasa. Tap-tapi... bukankah puisi merupakan salah satu bentuk bahasa? Mungkin begitu tanyamu.
Ya, ibarat air dalam hujan, meski hujan itu sendiri adalah air; atau pohon dalam hutan, meski hutan baru dikatakan hutan jika terdapat pohon; begitu pula dengan puisi yang berkisah tentang bahasa, meski bahasa telah terkandung dalam bait puisi. Keriuhan ini tertuang pada puisi yang berjudul Kamus Kecil.
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia
yang pintar dan lucu walau kadang rumit
dan membingungkan. Ia mengajari saya
cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
...bahwa orang lebih takut kepada hantu
ketimbang kepada Tuhan. -Kamus Kecil (Joko Pinurbo, 2014).
Permainan diksi yang saya temui dalam blurb ternyata menjadi bagian dari puisi ini. Kelihaian seorang Jokpin menjodohkan kata serupa tapi tak sama, sudah tidak perlu ditanyakan lagi.
Apalagi kata-kata itu ternyata bisa membuat kalimat padu, bermakna satu, dan meneguk kewarasanmu. Uh!
Penulis yang pernah mengenyam pendidikan di Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma Yogyakarta ini juga sangat lihai dalam membuat sentilan.
Seperti pada puisi "Sajak Balsem untuk Gus Mus", ketika Jokpin menyentil orang-orang yang hidupnya terlalu kenceng dan serius.
Dikit-dikit marah dan ngambek.
Dikit-dikit senggol bacok.
Hati kagak ada rendahnya.
Kepala kagak ada ademnya.
Menang umuk, kalah ngamuk. -Sajak Balsem untuk Gus Mus (Joko Pinurbo, 2016)
Gaya bahasa yang sederhana, jenaka, namun tepat menghujam di relung dada, tampak sudah menjadi ciri dalam puisi-puisi Jokpin. Saking sederhananya, kamu bahkan tidak perlu menjadi ahli bahasa Indonesia, atau ahli perpuisian untuk memahami maknanya.
Cukup baca dan renungi, puisi Kapan Lagi akan membawamu menuju realitas yang tanpa sadar sering kamu alami.
Hidup yang longgar ini kadang terasa sumpek juga.
Baju yang sebelumnya waras-waras saja
mendadak terasa sesak di bagian ketiak.
Celana yang sampai kemarin nyaman-nyaman saja
tiba-tiba terasa melintir di bagian paha.
Tadi malam kau pulang dari salon dengan gembira,
sekarang kau malu dengan potongan rambutmu. -Kapan Lagi (Joko Pinurbo, 2016)
Membaca Buku Latihan Tidur seperti membaca kejadian yang tampak nyata di depan mata. Hanya saja kejadian itu berupa bayangan yang keluar dari cerobong asap dalam baris-baris puisi Jokpin.
Alih-alih membuat tidur, Buku Latihan Tidur justru akan membuatmu terjaga dan tersenyum.
Sebelum menutup tulisan ini, izinkan saya untuk memberikan salam takzim untuk Jokpin. Semoga kita dapat bertemu di bait puisi. Mungkin sambil menyesap kopi, atau makan rengginang dari kaleng Khong Guan.
Tertanda,
penggemarmu.
Tutut Setyorinie, 25/10/2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H