Dalam blurbnya, Joko Pinurbo menekankan pada kata-kata yang memiliki kemiripan aksara. Seperti pada kata pulang dan palung, kenang dan kening, mata dan mati, serta tunggal, tinggal dan tanggal.
Permainan diksi inilah yang membuat saya akhirnya yakin untuk mencheck-out buku setebal 68 halaman ini dari keranjang belanja.
Garis dan bentuknya tersusun rapi, seperti dikerjakan profesional dalam mesin ilustrasi. Meski tak bewarna, ilustrasi ini cukup menimbulkan kegaduhan tanda tanya seperti: mengapa wanita bertubuh ranting? atau mengapa ada rumah di atas pohon?
Namun saya tidak akan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu karena teringat bahwa "gambar hanya sebagai pemanis", meski ada es teh yang lebih manis. Hehehe...
Buku Latihan Tidur membagi puisi ke dalam enam bagian. Pada bagian pertama, Jokpin banyak membahas tentang bahasa. Tap-tapi... bukankah puisi merupakan salah satu bentuk bahasa? Mungkin begitu tanyamu.
Ya, ibarat air dalam hujan, meski hujan itu sendiri adalah air; atau pohon dalam hutan, meski hutan baru dikatakan hutan jika terdapat pohon; begitu pula dengan puisi yang berkisah tentang bahasa, meski bahasa telah terkandung dalam bait puisi. Keriuhan ini tertuang pada puisi yang berjudul Kamus Kecil.
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia
yang pintar dan lucu walau kadang rumit
dan membingungkan. Ia mengajari saya
cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
...bahwa orang lebih takut kepada hantu
ketimbang kepada Tuhan. -Kamus Kecil (Joko Pinurbo, 2014).
Permainan diksi yang saya temui dalam blurb ternyata menjadi bagian dari puisi ini. Kelihaian seorang Jokpin menjodohkan kata serupa tapi tak sama, sudah tidak perlu ditanyakan lagi.
Apalagi kata-kata itu ternyata bisa membuat kalimat padu, bermakna satu, dan meneguk kewarasanmu. Uh!
Penulis yang pernah mengenyam pendidikan di Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma Yogyakarta ini juga sangat lihai dalam membuat sentilan.