Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Kembali Pulang

1 Juni 2019   22:55 Diperbarui: 1 Juni 2019   23:08 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: http://www.majelistausiyahcinta.com

Baca cerita sebelumnya di sini: Pertemuan di Ujung Penantian

Setahun sudah aku tinggal bersama mereka yang kupanggil orang tua. Ibu, wanita berusia empat puluhan ternyata merupakan seorang penulis. Ia menulis beragam kisah. Mulai dari kisah Utopia si Pesulap, hingga kisah Arama si pembunuh berantai. Terkadang ia juga membacakan kisahnya padaku dengan tangan direntangkan dan ekspresi yang sulit kutirukan.

Hingga aku ragu, apakah ia benar-benar hidup. Aku takut ia hanya sebuah kisah yang ditulis dalam diary dan ditiupkan roh oleh peri biru, seperti pinokio milik si Gepeto Tua. Namun ketika ia memanggilku, aku tahu ibu bukan sekedar kisah. Ia benar-benar hidup. Matanya yang selegam arang memancarkan ketegasan dan kasih sayang. Rambut hitamnya yang terurai, bagaikan bihun yang dimasak Ama sebagai santapan sahur, lembut dan sangat mudah diatur. 

Pengakuan Ama tentang asal-usulku tak merubah pandanganku terhadap mereka. Tak peduli bagaimana sikap mereka dahulu, kedua orang itu tetap orang tuaku. Lagi pula rumah ini terasa hangat, sama seperti bolu yang dibelikan Abah sebagai bekal untuk sekolah. 

"Selamat ulang tahun, Fitriku," sahut Ibu sambil membawa kue berhias dua buah lilin yang menyala.

Aku tersenyum untuk kemudian meniup lilin dan memeluknya. 

"Ibu membuatnya?" tanyaku penasaran.

"Apa kita bisa bertaruh untuk itu?" Ayah muncul dari belakang sambil mengecup keningku. "Apalagi yang bisa dimasak ibu selain kisah-kisahnya?" 

Kami tertawa bersama. Ibu memang tak pandai memasak. Setahun tinggal dengannya, paling jauh ibu hanya bisa memasak sup ayam dan sambal kentang. Ia juga tak jago membuat kue, atau memakai panggangan. Jika saja kata-kata bisa direbus dan disantap, mungkin ia sudah jadi chef handal yang diundang ke berbagai restoran mahal. 

Aku menyantap kue itu bersama mereka. Manis rasanya. Kata Ama, kue memang selalu terasa manis. Tapi Ama sendiri tidak menyukainya. Ama bilang rasa manis membuat giginya sakit. Sedangkan Abah lebih suka kue singkong dan ubi, itu lebih menyehatkan.

Ini adalah perayaan Fitri pertamaku bersama mereka. Fitri yang kuidam-idamkan selama bertahun-tahun. Namun masih saja ada yang kurang. Benar kata Abah, manusia memang tak pernah merasa puas. Tapi aku merinduinya sekarang.

Aku merindui Abah yang selalu mengajakku berkeliling dengan sepeda tuanya, memberi makan Lisa-sapi kesayangannya. Aku merindui Ama yang menghadiahiku pakaian di hari pertambahan umur. Aku penasaran apakah tahun ini Ama tetap menjahitkan pakaian untukku.

Mendadak, aku sangat ingin menemui mereka. Namun, jalan itu terasa jauh. Ada ayah dan ibu di sini, dan aku tahu mereka tak ingin melihat anak yang baru saja didapatkannya kembali pergi.

Tidak, aku tidak pergi. Aku hanya ingin menengok Abah dan Ama untuk kemudian kembali pulang. Baru beranjak beberapa langkah dari kamar, Ayah dan Ibu sudah menemuiku dan memberi senyuman. Mereka menyetujui permintaan yang belum keluar dari mulutku, bahkan dengan rela menyiapkan perbekalan dan tiket perjalananku. Sungguh, aku bersyukur mereka mengerti.

Namun pikiranku terus saja terganggu. Apa Abah dan Ama masih mengingatku? Tentu saja, aku baru setahun berpisah dengan mereka. Lalu bagaimana jika mereka menanyakan mengapa aku datang? Seingatku Abah bahkan tak perlu mendengar alasan mengapa nilai Bahasa Inggrisku selalu merah. Ia juga tidak pernah menanyakan mengapa aku selalu berpakaian kotor di hari Jumat. Mungkin, ia tidak akan menanyakan alasan kedatanganku kali ini.

Sedangkan Ama, ia tak mungkin tidak menanyakannya. Pertanyaan pertama yang dilontarkan Ama setelah aku dipanggil guru adalah "mengapa". Pertanyaan Ama ketika aku sedang menangis juga "mengapa". Dan sayangnya "mengapa" itu adalah sebuah pertanyaan tentang alasan. 

Entah berapa lama aku berjalan, dan sekarang aku sudah kembali ke rumah dalam susunan batu bata itu. Yang pertama kali menyapaku tentu saja adalah Lisa. Sapi itu mungkin masih mengenali pemberi makannya yang telah lama hilang. 

Aku maju untuk mengetuk pintu. Asing rasanya, namun hangat. Aku bisa membaui aroma ketupat Ama dari luar, juga sup dagingnya. Aku juga masih bisa mengenali sandal Abah, yang menandakan dirinya berada di dalam. Itu sandal pemberianku. Waktu itu, aku menyisihkan uang magangku untuk membelikan sandal kesukaan Abah yang terlepas dan hilang saat mengejar gerombolan pencuri di pasar ikan.

Tanganku mengetuk. Aku membayangkan Abah berdiri dengan senyum hangat. Merentangkan tangannya agar aku bisa memeluknya erat. Namun tak ada yang membukakannya hingga dua menit berselang. Abah pasti sedang tidur karena kekenyangan menyantap ketupat Ama.

Aku mengetuk lagi. Kali ini aku membayangkan wajah Ama yang tersenyum lebar beserta pakaian hasil jahitannya yang ia serahkan untuk cepat-cepat kucoba. Namun, lagi-lagi tidak ada yang membuka pintu itu.

Jantungku berdegup. Aku tidak bisa membayangkan hal-hal yang tidak kuinginkan melintas begitu saja di alam pikiran. Maka kubuka paksa gagang pintu itu dan berlari ke dalam.

"Abah, Ama.." teriakku memenuhi ruangan.

Aku menghampiri kamar Abah dan memutar kenop pintunya. Tapi tak kutemukan ia di sana. Aku lalu menuju dapur, mungkin Ama ada di sana. Tapi tak seorang pun di sana kecuali panci-panci yang penuh dengan sayur.

Aku mengecek pekarangan, kamar mandi, tempat bekerja Abah dengan gerabahnya, dan kembali ke depan. Tak ada yang kutemukan. Apa mereka pergi? Tapi panci terasa hangat. Seseorang pasti baru saja menyalakan apinya. Lagi pula sendal Abah di sini. Ia selalu berpergian dengan sendal ini selama hampir setahun. Ia tidak punya sendal lain.

Aku hampir menangis memikirkan kemungkinan terburuk itu. Tapi aku tebas semua itu dengan berbagai kemungkinan. Mungkin Abah lupa membeli sesuatu sehingga ia harus pergi ke warung. Atau mungkin Ama ingin berjalan-jalan dengan Abah untuk sejenak menghirup udara segar. Dan beberapa mungkin-mungkin yang lain. Namun sebelum air mataku jatuh, kedua sosok yang sangat kurindukan itu muncul di ujung jalan. Aku menghambur dan meninggalkan segala perkakasku untuk menjemput mereka.

Kupeluk Abah dan Ama, erat dan lama. Mereka balas memeluk, lalu mengusap puncak kepalaku. Ama memberikan pakaian yang baru saja ia selesaikan untukku. Abah, sesuai janjinya, menghadiahiku sepatu baru.

"Ini bagus, Bah."

"Tak perlu berkata, kelingkingmu sudah mengatakannya pada Abah."

Aku tidak tahu mengapa pipiku mendadak panas. Ternyata air bening telah mengalir lama di sana, sehingga membentuk sungai kecil. Mereka ibarat rumah. Dan kemanapun aku pergi, satu hal yang kurindukan adalah pulang.

TS, 1 Juni 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun