Aku menghampiri kamar Abah dan memutar kenop pintunya. Tapi tak kutemukan ia di sana. Aku lalu menuju dapur, mungkin Ama ada di sana. Tapi tak seorang pun di sana kecuali panci-panci yang penuh dengan sayur.
Aku mengecek pekarangan, kamar mandi, tempat bekerja Abah dengan gerabahnya, dan kembali ke depan. Tak ada yang kutemukan. Apa mereka pergi? Tapi panci terasa hangat. Seseorang pasti baru saja menyalakan apinya. Lagi pula sendal Abah di sini. Ia selalu berpergian dengan sendal ini selama hampir setahun. Ia tidak punya sendal lain.
Aku hampir menangis memikirkan kemungkinan terburuk itu. Tapi aku tebas semua itu dengan berbagai kemungkinan. Mungkin Abah lupa membeli sesuatu sehingga ia harus pergi ke warung. Atau mungkin Ama ingin berjalan-jalan dengan Abah untuk sejenak menghirup udara segar. Dan beberapa mungkin-mungkin yang lain. Namun sebelum air mataku jatuh, kedua sosok yang sangat kurindukan itu muncul di ujung jalan. Aku menghambur dan meninggalkan segala perkakasku untuk menjemput mereka.
Kupeluk Abah dan Ama, erat dan lama. Mereka balas memeluk, lalu mengusap puncak kepalaku. Ama memberikan pakaian yang baru saja ia selesaikan untukku. Abah, sesuai janjinya, menghadiahiku sepatu baru.
"Ini bagus, Bah."
"Tak perlu berkata, kelingkingmu sudah mengatakannya pada Abah."
Aku tidak tahu mengapa pipiku mendadak panas. Ternyata air bening telah mengalir lama di sana, sehingga membentuk sungai kecil. Mereka ibarat rumah. Dan kemanapun aku pergi, satu hal yang kurindukan adalah pulang.
TS, 1 Juni 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H