"Bukan begitu, Ama. Aku hanya ingin melihat wajah mereka. Bukankah Ama sering mengatakan bahwa mataku mirip Ibu? Aku hanya ingin tahu kepastiannya, Ama."
"Ama ingin istirahat di kamar," tutup Ama mengakhiri perbincangan itu.
Aku tidak ingin berdebat, aku hanya penasaran. Namun rasa penasaran itu larut selama 19 tahun. Aku merasa tidak perlu lagi menanyakan. Lagi pula, Ama benar. Ama dan Abah seharusnya cukup untukku. Mereka adalah pengganti orang tua di saat sudah memasuki usia senja.
Rasa ini terus kukubur hingga bulan Fitri menyapaku untuk ke dua puluh. Seperti biasa, aku menyalami Abah dan Ama dalam waktu yang lama. Aku juga membelikan mereka sebuah mukena dan peci baru untuk dipakai pada shalat hari raya. Ama kembali menghadiahiku pakaian. Kali ini lebih panjang, Ama menyuruhku untuk lebih menutup aurat.
Abah menghadiahiku bros berbentuk bunga. Abah bilang, bros itu akan mempercantik jilbabku yang merupakan hadiah dari Ama. Ia menangis tersedu karena belum kesampaian membelikan sepatu baru untukku.
Aku menggeleng sembari mengusap kedua matanya. "Aku tidak meminta, Bah."
"Tapi kau pantas mendapatkannya. Lihatlah kelingkingmu yang bengkak. Ia sudah lebih dulu berbicara, walau mulutmu membungkam."
Abah selalu tahu. Ia adalah malaikat yang tidak hanya mendengar melalui telinga, tetapi juga pakai hati. Di usiaku ke dua puluh ini, aku sadar aku tidak butuh apa-apa lagi selain mereka berdua, Abah dan Ama, hingga pintu rumah mendadak terketuk.
Aku bangkit. Di hadapanku berdiri seorang wanita dengan rambut hitam panjang serta laki-laki di sampingnya dengan perawakan tegap dan beribawa. Wanita itu menatapku tajam, persis seperti caraku melihat seseorang. Beberapa detik kemudian, ia tersenyum. Persis seperti aku tersenyum pada seseorang.
Laki-laki itu menatapku. Alisnya terangkat ketika ia memandang, seperti caraku ketika sedang heran. Jika diibaratkan sebuah cermin, aku adalah pantulan dari dua orang yang tengah berdiri di hadapanku sambil menahan air mata.
Tanpa meminta izin, wanita itu langsung mendekapku erat. Sedangkan aku, hanya tertegun. Lidahku kelu. Kata-kataku terkunci di lorong mulut. Saat pandangan menangkap Abah dan Ama, aku mendadak teringat janjiku pada mereka. Jangan cari mereka, begitu kata Abah. Dan aku menyetujuinya.