Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Bromo, Spot Terbaik Melihat Matahari Terbit

23 Oktober 2018   09:00 Diperbarui: 9 Juni 2022   15:37 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
matahari mulai terbit. sumber: dokpri.

Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru mungkin tidak lagi asing di telinga kita. Taman yang terletak di empat kabupaten yakni kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang ini telah didirikan sejak tahun 1982. Meski sudah cukup lama didirikan, saya baru berkesempatan untuk menginjakan kaki di taman ini pada minggu ke-dua Oktober lalu.

Perjalanan saya menuju Bromo dimulai saat pergantian bus wisata dengan jeep. Saat itu sekitaran jam 4 pagi, dan udara dingin mulai menusuk kulit. Perjalanan dengan jeep memakan waktu sekitar setengah jam. Saya tidak langsung dibawa ke puncak, melainkan mampir sejenak di masjid untuk melaksanakan sholat shubuh.

Di masjid itu, pertama kalinya saya berwudhu dengan air es! Ya, sangat-sangat dingin. Bahkan ketika menginjak lantai masjid pun, saya seperti menginjak lapisan es. Selesai wudhu saya langsung memakai kaus kaki, sarung tangan, dan masker, sebelum dibalut lagi dengan mukena untuk melaksanakan sholat subuh.

Ketika saya kembali ke halaman masjid, saya baru sadar kalau masyarakat di sekitar sini hanya menggunakan sarung, jaket tipis, dan sendal. Sedangkan saya dan para rombongan menggunakan jaket tebal-tebal, dengan lilitan syal, kupluk, sarung tangan, kaus kaki serta sepatu. Jadilah kentara sekali, mana yang biasa berteman dengan udara panas Jakarta dan mana yang bersahabat dengan udara dingin.

Masyarakat Tengger. ilustrasi: kompas.com
Masyarakat Tengger. ilustrasi: kompas.com
Waktu itu saya sangat penasaran mengapa banyak dari mereka yang masih menggunakan sarung ketika beraktivitas. Ternyata usut punya usut, sarung adalah tradisi sekaligus kebanggaan masyarakat Tengger. Jadi itulah alasan mengapa banyak masyarakat sekitar yang memakai sarung walau di siang hari.

Setelah sholat subuh, saya beserta rombongan kembali menaiki jeep untuk melanjutkan perjalanan. Setelah perjalanan sekitar setengah jam, kami para rombongan akhirnya sampai. Namun perkiraan saya tentang "sampai" ternyata tidak sepenuhnya benar, karena kami harus melanjutkan dengan berjalan kaki.

Udara semakin terasa dingin, dan hidung saya mulai merengek di balik masker. Perjalanan yang semula datar, mulai menanjak. Walau tanjakannya tidak seekstrem seperti di film 5cm, saya tetap saja ngos-ngosan. heu heu 

pemandangan langit sebelum matahari terbit. sumber: dokpri.
pemandangan langit sebelum matahari terbit. sumber: dokpri.
Setelah perjalanan kurang lebih 10 menit, saya akhirnya sampai di puncak. Saat itu sekitaran pukul 5 pagi, dan langit yang gelap mulai beranjak oranye. Sayangnya pemandangan itu agak sedikit rusak oleh asap yang membumbung dari hutan seberang. Kata salah seorang pemandu wisata, hutan itu bukan sengaja dibakar, melainkan terbakar sendiri ketika musim panas tiba.

Daannn.. momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Bola merah itu sedikit demi sedikit merangkak naik memeluk langit. Keindahannya menghipnotis puluhan mata yang hanya sanggup mengucap banyak kata syukur ke pemilik alam semesta. 

matahari mulai terbit. sumber: dokpri.
matahari mulai terbit. sumber: dokpri.
Momen matahari terbit di kawasan bromo memang tidak terlupakan. Saya yang biasa mengeluh dengan panasnya matahari, tidak pernah menyangka akan terpana dengan kemunculannya yang begitu elok. Merah merekah, seperti kuncup mawar yang hendak mekar. 

Setelah matahari terbit sempurna, saya beserta rombongan melanjutkan perjalanan dengan jeep menuju pasir berbisik. Kenapa bisa dinamakan begitu? Konon ketika pasir itu tertiup angin, suaranya seperti tengah membisikkan sesuatu. Ah masa iya? Coba kamu buktikan sendiri yaa..

pasir berbisik. sumber: dokpri
pasir berbisik. sumber: dokpri
Pasir berbisik adalah lautan pasir yang sangat luas. Jika menurutmu pasir hanya ada di pantai, maka tebakanmu salah, karena di area pergunungan, terutama gunung berapi juga memiliki struktur tanah berupa pasir seperti ini.

Menurut saya, pasir berbisik adalah objek wisata yang paling ramai di taman nasional Bromo-Tengger-Semeru ini. Karena di sini, ada puluhan jeep yang terparkir untuk mengangkut beberapa rombongan besar. Di sini juga ramai oleh pedagang, mulai dari pedangan makanan sampai ke pedangang yang menjajakan perlengkapan menanjak seperti topi dan syall.

Di lautan pasir ini kamu bisa menikmati keindahan gunung bromo, gunung batok, atau gunung semeru di kejauhan. Kebetulan foto yang saya ambil adalah gunung batok, yang memang seringkali dijadikan latar belakang untuk berfoto. Mengapa? Karena gunung batok ini merupakan gambaran gunung yang paling jelas terlihat di pasir berbisik.

Selain gunung batok, kamu juga bisa mengunjungi kawah putih bromo. Sayangnya, perjalanan yang harus kamu tempuh untuk menuju kawah putih itu lumayan cukup jauh, dan menanjak. Saya yang sudah ngos-ngosan, hanya sanggup menempuh setengah perjalanan ke kawah, sebelum akhirnya menyerah.

kawah bromo. ilustrasi: http://katalogwisata.com
kawah bromo. ilustrasi: http://katalogwisata.com
Jika kamu ingin mengirit tenaga untuk berjalan, kamu bisa menyewa kuda yang memang banyak ditawarkan sejak pertama kali menginjakan kaki di lautan pasir. Harganya berkisar 50.000 untuk sekali jalan ke kawah bromo. Tetapi setelah turun dari kuda, kamu masih harus menaiki 250 anak tangga untuk sampai di puncaknya.

Meski begitu, semua kelelahanmu ketika menaiki tangga akan terbayar dengan keindahan puncak dan kawah bromo yang asapnya meletup putih. Saya sendiri menyesal mengapa tidak sanggup menuju kawah, karena akan jadi momen yang tidak terlupakan ketika mata saya sendiri menangkap momen indah dan langka tersebut.

Setelah puas bermain dengan pasir dan berfoto ria, saatnya kembali ke jeep. Di perjalanan pulang, saya banyak menemukan ibu-ibu tua yang menjajakan sesuatu seperti bunga. Ternyata itu adalah bunga edelweis atau yang sering biasa disebut bunga abadi. 

bunga edeweis. sumber: instagram @nuhanabilahldb
bunga edeweis. sumber: instagram @nuhanabilahldb
Salah seorang teman saya, akhirnya membeli bunga ini seharga 20.000 rupiah, harga yang cukup murah untuk sebuah bunga nan elok. Konon bunga edelweis ini mempunyai gen yang membuat kelopaknya tidak akan rontok sehingga disebut bunga abadi.

Perjalanan saya akhirnya lengkap. Merasakan dinginnya udara pegunungan, melihat matahari terbit, mendengar bisikan alam di lautan pasir, mengukur seberapa kecilnya diri di gunung batok, hingga melihat istimewanya bunga edelweis.

Kamu, kapan ke sini?

thousand of tired, never-shaken, over-civilized people are beginning to find out that going to the mountain is going home. -John Muir

Tutut Setyorinie, 23 Oktober 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun