Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru mungkin tidak lagi asing di telinga kita. Taman yang terletak di empat kabupaten yakni kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang ini telah didirikan sejak tahun 1982. Meski sudah cukup lama didirikan, saya baru berkesempatan untuk menginjakan kaki di taman ini pada minggu ke-dua Oktober lalu.
Perjalanan saya menuju Bromo dimulai saat pergantian bus wisata dengan jeep. Saat itu sekitaran jam 4 pagi, dan udara dingin mulai menusuk kulit. Perjalanan dengan jeep memakan waktu sekitar setengah jam. Saya tidak langsung dibawa ke puncak, melainkan mampir sejenak di masjid untuk melaksanakan sholat shubuh.
Di masjid itu, pertama kalinya saya berwudhu dengan air es! Ya, sangat-sangat dingin. Bahkan ketika menginjak lantai masjid pun, saya seperti menginjak lapisan es. Selesai wudhu saya langsung memakai kaus kaki, sarung tangan, dan masker, sebelum dibalut lagi dengan mukena untuk melaksanakan sholat subuh.
Ketika saya kembali ke halaman masjid, saya baru sadar kalau masyarakat di sekitar sini hanya menggunakan sarung, jaket tipis, dan sendal. Sedangkan saya dan para rombongan menggunakan jaket tebal-tebal, dengan lilitan syal, kupluk, sarung tangan, kaus kaki serta sepatu. Jadilah kentara sekali, mana yang biasa berteman dengan udara panas Jakarta dan mana yang bersahabat dengan udara dingin.
Setelah sholat subuh, saya beserta rombongan kembali menaiki jeep untuk melanjutkan perjalanan. Setelah perjalanan sekitar setengah jam, kami para rombongan akhirnya sampai. Namun perkiraan saya tentang "sampai" ternyata tidak sepenuhnya benar, karena kami harus melanjutkan dengan berjalan kaki.
Udara semakin terasa dingin, dan hidung saya mulai merengek di balik masker. Perjalanan yang semula datar, mulai menanjak. Walau tanjakannya tidak seekstrem seperti di film 5cm, saya tetap saja ngos-ngosan. heu heu
Daannn.. momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Bola merah itu sedikit demi sedikit merangkak naik memeluk langit. Keindahannya menghipnotis puluhan mata yang hanya sanggup mengucap banyak kata syukur ke pemilik alam semesta.
Setelah matahari terbit sempurna, saya beserta rombongan melanjutkan perjalanan dengan jeep menuju pasir berbisik. Kenapa bisa dinamakan begitu? Konon ketika pasir itu tertiup angin, suaranya seperti tengah membisikkan sesuatu. Ah masa iya? Coba kamu buktikan sendiri yaa..
Menurut saya, pasir berbisik adalah objek wisata yang paling ramai di taman nasional Bromo-Tengger-Semeru ini. Karena di sini, ada puluhan jeep yang terparkir untuk mengangkut beberapa rombongan besar. Di sini juga ramai oleh pedagang, mulai dari pedangan makanan sampai ke pedangang yang menjajakan perlengkapan menanjak seperti topi dan syall.
Di lautan pasir ini kamu bisa menikmati keindahan gunung bromo, gunung batok, atau gunung semeru di kejauhan. Kebetulan foto yang saya ambil adalah gunung batok, yang memang seringkali dijadikan latar belakang untuk berfoto. Mengapa? Karena gunung batok ini merupakan gambaran gunung yang paling jelas terlihat di pasir berbisik.
Selain gunung batok, kamu juga bisa mengunjungi kawah putih bromo. Sayangnya, perjalanan yang harus kamu tempuh untuk menuju kawah putih itu lumayan cukup jauh, dan menanjak. Saya yang sudah ngos-ngosan, hanya sanggup menempuh setengah perjalanan ke kawah, sebelum akhirnya menyerah.
Meski begitu, semua kelelahanmu ketika menaiki tangga akan terbayar dengan keindahan puncak dan kawah bromo yang asapnya meletup putih. Saya sendiri menyesal mengapa tidak sanggup menuju kawah, karena akan jadi momen yang tidak terlupakan ketika mata saya sendiri menangkap momen indah dan langka tersebut.
Setelah puas bermain dengan pasir dan berfoto ria, saatnya kembali ke jeep. Di perjalanan pulang, saya banyak menemukan ibu-ibu tua yang menjajakan sesuatu seperti bunga. Ternyata itu adalah bunga edelweis atau yang sering biasa disebut bunga abadi.
Perjalanan saya akhirnya lengkap. Merasakan dinginnya udara pegunungan, melihat matahari terbit, mendengar bisikan alam di lautan pasir, mengukur seberapa kecilnya diri di gunung batok, hingga melihat istimewanya bunga edelweis.
Kamu, kapan ke sini?
thousand of tired, never-shaken, over-civilized people are beginning to find out that going to the mountain is going home. -John Muir
Tutut Setyorinie, 23 Oktober 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H