Tanggal 4 Juli bukan hanya dirayakan oleh warga Amerika Serikat sebagai peringatan kemerdekaan, namun juga oleh saya pribadi. Karena tepat di tanggal ini, genap satu tahun sudah kapal saya berlayar di lautan penuh ombak, terumbu karang, dan angin kencang bernama Kompasiana.
Pertemuan saya dengan Kompasiana ini berawal dari ketidaksengajaan. Saat itu saya sedang berselancar di google untuk mencari sebuah puisi, dan sampailah kepada puisi yang seseorang tulis di Kompasiana. Saya pikir awalnya Kompasiana adalah versi online dari Koran Kompas. Namun karena banyaknya user yang memosting tulisan di sana, rasa ingin tahu saya membuncah untuk menelusurinya.
Media jurnalisme warga, begitu tutur Wikipedia. Dari sana, saya beranjak untuk mengetahui bagaimana cara kerja Kompasiana,bagaimana cara membuat akun di Kompasiana, dan bagaimana memosting tulisan di sana. Dan tepat di tanggal ini, setahun yang lalu, saya resmi menyandang status sebagai Kompasianer.
Saya tertarik karena di sini saya bisa mengetahui berapa kali suatu artikel dibaca, divote,maupun di komentari. Semakin tertarik lagi karena ada sekitar 4 orang yang memberi vote menarik dan berkomentar di cerpen saya. Saya mulai rajin menulis sejak saat itu, rajin juga mengunjungi lapak penulis lain yang "sangat ramai" di rubrik Fiksiana. Satu pertanyaan yang terbesit di benak saya adalah: apakah mereka sudah saling kenal?
Keakraban, candaan, dan saling berbalas sapaan membuat saya menyimpulkan bahwa Kompasiana bukan hanya media jurnalisme warga, namun juga media untuk berhubungan dan menciptakan suasana persaudaraan: sharing, connecting.
Saya mengenal apa arti dari highlight, headline, maupun hanya lewat. Keinginan terpampang di halaman utama akhirnya dapat terwujud di tanggal 26 Agustus 2016 ketika cerpen saya yang berjudul Balada Churros mendapat label headline.
Nggak sanggup berkata-kata rasanya. Spechless bro!
Saya baru merasakan efek mendapat label headline dari Kompasiana itu lebih dahsyat daripada menerima chat dari mantan. Eh. Lho?
Saat melihat ramainya acara ini, saya hanya bisa berkata: Kompasiana itu real. Kompasianer itu real. Dunia maya itu sungguh benar-benar ada.
Namun keberanian saya tak sampai untuk menyapa mereka seperti di dunia maya. Alhasil saat itu saya hanya mengamati, sambil menyapa dalam hati. Derita anak berbau kencur, hiks.
Saya yang tadinya hanya bisa membuat karangan fiksi, sekarang dapat merambah ke tulisan yang lebih ilmiah, semisal artikel. Dan yang tadinya hanya dapat berkubang di Fiksiana, kini saya dapat mencicipi sensasi menulis di rubrik Wisata, Tekno, ataupun Lifestyle.
Besar harapan saya supaya Kompasiana menghadirkan rubrik Sains. Sebagai pecinta astronomi, rasanya kurang tepat untuk memasukan artikel tentang astronomi di rubrik Tekno-yang berfokus pada masalah teknologi dan perkembangannya.
Tapi entah mengapa, permasalahan error itu sudah bisa dimaklumi oleh hampir seluruh Kompasianer. Buktinya, masih banyak yang betah menulis di blog keroyokan ini. Karena, berharap Kompasiana tanpa error adalah berharap bisa memakan buah khuldi di surga. Imposibleeee.
Meski begitu, jika ada hal yang ingin saya katakan itu adalah terima kasih, Kompasianaaaaaa...
Mungkin ada yang bertanya mengapa saya tidak menggenapkan tulisan menjadi 100 di satu tahun berkompasiana. Saya hanya tidak ingin kisah ini menjadi genap, lengkap, dan dengan begitu selesai. Saya ingin perjalanan satu tahun di Kompasiana ini menjadi potongan yang dapat saya lengkapi di tahun ke dua, ke tiga, ke empat, bahkan seterusnya.
Happy Fourth of July. So happy being Kompasianer.
Tutut Setyorinie, 4 Juli 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H