Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kematian Tersenyum Padamu

6 April 2017   12:15 Diperbarui: 6 April 2017   21:00 1494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah beberapa hari kau lupa untuk menelepon ibumu. Terakhir kali kau meneleponnya, ia meminta untuk dibelikan panci baru. Konon panci itu bisa membuat masakan apapun matang lebih cepat, bahkan lebih nikmat. Ia juga memberi tahumu bila saja kau memesan sebelum tanggal dua puluh empat, mungkin diskonnya masih bisa didapat.

Inginmu kau menolak, dengan alasan kau tidak akan menerima gaji di tanggal dua puluh empat. Inginmu kau menolak, dengan berkata bahwa panci-panci yang ada masih layak. Tetapi apa daya jika wanita yang berjuang mati-matian untuk melahirkanmu sudah meminta. Bahkan bila wanita itu meminta 1000 pancipun akan kau penuhi walau harus menjadikan malam sebagai pagi.

Sudah lama juga kau tak menengok ayahmu. Kulihat sebulan yang lalu kau bertengkar dengannya hanya karena ia ingin sebuah televisi baru.

“Yang datar dan lebar, Man. Dan juga yang bisa nempel di dinding, supaya bapak bisa menontonnya sambil tertidur” pinta bapakmu.

Kau yang baru saja mendapat surat PHK langsung naik pitam. Jangankan berpikir untuk membeli televisi layar datar, untuk makan besok saja masih belum terpikirkan. Tetapi bapakmu yang terlanjur ngidam, tak ingin mendengar alasan. Pilihannya hanya dua, “ya” atau “tidak”.  Dan kau memilih untuk melayangkan surat PHK itu di depan matanya lalu melesat pergi.

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Malam harinya, bapakmu melemparkan semua baju-bajumu yang ada dalam almari, sambil berteriak “Jangan pulang atau bawakan teve layar datar itu!”

Adikmu—Nurlaila—mendadak mengetuk pintu kontrakanmu dengan wajah kusut nan layu. “Bang, ban sepedaku bocor. Kenapaku di tengah jalan.” 

Ingin sekali kau mengutuk anak iseng yang suka menebar paku itu. Dan juga lampu jalan yang tak cukup melawan keremangan malam. “Kok malam-malam kesini, Lai? Ada apa?”

“Aku diminta ibu untuk ngingetinabang—jangan lupa beli panci baru. Karena sebentar lagi diskonnya mau habis.”

Kau melongo tak percaya. Adikmu menempuh berkilo-kilo meter dengan sepeda hanya untuk menyampaikan secuil pesan yang bahkan sudah ia ingat di luar kepala. “Bilang ke ibu, abang sudah ingat.”

“Bang… Ini.” Adikmu menyerahkan sesuatu.

“Apa ini?” Firasatmu berkata bahwa ini adalah permintaan ibumu yang lain. Apa sekarang ibumu bahkan membuat daftar tentang apa saja yang akan dibelinya ketika kau gajian, atau mungkin ini adalah gambar panci yang ia inginkan. Namun…

“Kau menunggak 3 bulan, Lai?”

Adikmu hanya menunduk, menggerak-gerakan jari kakinya dengan tak bertenaga. “Laila nggak berani minta bayaran sekolah ke ibu atau bapak. Laila sudah ngumpulin uang sendiri, bang, buat bayar sekolah. Cuma uangnya kemarin dipinjam ibu. Katanya buat arisan.”. Adikmu menarik napas, lalu menangis pelan-pelan. Mau tak mau kau memeluknya. Dan malam itu akhirnya kau kembali lagi ke rumah.

Satu bulan bulan terusir, membuat tempat ini tak lagi terasa rumah. Beruntung, bapakmu sedang keluar. Mungkin kalau tidak, kau akan diusir sebelum menyentuh gagang pintunya. Laila sudah berhenti menangis. Dan ban sepedanya pun sudah diperbaiki. Uang terakhir yang berada di dompetmu—selembar 100 ribu—kau berikan kepada Laila untuk menyicil uang sekolahnya. Sambil berharap, esok adalah tanggal tiga puluh. Tanggal dimana dompetnya tak terasa sepi.

Malam itu juga, kau mungkin tak menyangka akan bertemu denganku. Saat itu, aku masih menunggu bis kota. Kau dengan wajah kusutmu melakukan hal yang sama. Sampai tibalah sang bis. Dan kita sama-sama menaikinya.

Sabtu malam mungkin adalah hal yang berbeda. Bis yang seharusnya sepi, masih tampak ramai oleh para remaja. Aku menengok jam tangan—23:00.

Kau dan aku turun di pemberhentian yang sama. Egoisnya kau tak menyadari langkahku yang tepat di belakangmu. Atau bayangku yang berjalan  beriringan di sampingmu. Sampai kau tiba di depan pintu kontrakanmu, barulah kau berbalik dan memandangku.

Aku terlalu kaget untuk tersenyum. Kau pun begitu. Selama beberapa detik kita menatap tanpa bicara, sampai akhirnya kau bertanya, “siapa ya?”

Entah mengapa lidahku kelu. Bibirku gagu. Lalu dengan sangat perlahan, “Aku tamumu.”

“Apakah kita pernah bertemu?” tanyamu lagi.

Aku menggeleng.

“Jadi kau siapa? Dan sejak kapan kau mengikutiku?”

Aku melihat jam tanganku—23:30. “Aku Persephone.???? Aku mengikutimu sejak 40 hari lalu.”

“40 hari? Lantas mengapa aku baru melihatmu sekarang?” Kau sudah berancang-ancang untuk menutup pintu. Tapi aku tak gentar. Aku disini bahkan untuk bertamu.

“Karena aku baru menampakkan diriku sekarang.” Aku melihat tanganmu memutar kenop pintu. “Sudah waktunya.”

“Waktu untuk apa?”

“Waktu kematianmu.” Jujur, aku tak menyukai momen ini. Kupikir kau juga, karena peluh di dahimu mulai berembun dan jatuh perlahan. “Kuharap kau puas dengan kematianmu. Kau sudah melihat rumahmu tadi, bukan? Dan ibumu? Dan adikmu? Kau pikir mengapa adikmu tiba-tiba mendadak kesini?”

Kau diam tak bergeming.

“Aku sengaja tak mempertemukanmu dengan ayahmu. Kutakut ia akan mengusirmu lagi, dan hal terakhir yang kau ingat adalah permintaannya akan sebuah teve layar datar.”

Dengan gerakan secepat kilat kau menutup pintu kontrakanmu. Namun aku tahu, kau belum beranjak dari tempatmu. Kau masih mendengarkanku.

“Kau tahu, kematian tak seburuk yang kau kira. Bahkan tak sepedih cerita orang. Kau hanya perlu tersenyum padaku. Maka aku akan tersenyum padamu.”

“Hanya orang gila yang tersenyum pada kematian,” teriakmu dari dalam.

“Lantas orang gila itu adalah orang terbaik yang pernah hidup di bumi. Mereka yang percaya akan kematian, sudah menyiapkan segalanya bahkan menyambut kedatanganku. Kuharap kau pun begitu.”

“Lantas, pergilah! Aku belum menyiapkannya. Aku belum ingin menerimamu sebagai tamuku.” Kau masih bersikeras tak mau membukakan pintu.

Aku menggeleng, “dan kau terlambat.”

Api muncul dan menyebar. Ini bukan ulahku. Mungkin kau yang lupa untuk mematikan kompor ketika pergi. Bukan keluar, kau malah menuju dapur untuk memadamkan api itu. Maafkan aku yang tak membantumu. Karena bukan tugasku untuk melakukan itu.

Dan disitulah engkau. Terengah-engah, kehabisan napas, sambil bertumpu pada dinding kamar.  Dahimu penuh dengan keringat. Dan seluruh tubuhmu memerah.

“Aku lupa mengatakan, bahwa orang gila yang tersenyum pada kematian bukan hanya orang terbaik di antara kalian. Namun juga orang yang telah menyerah pada kehidupan. Kuberharap kau ada dalam kategori pertama. Walau kenyataannya tidak.”

Asap memekatkan pandanganmu padaku. Namun kupikir kau masih bersikeras untuk mendengarkan dengan seksama. Api bertambah besar, dan orang-orang mulai berdatangan. Mereka berusaha untuk mengeluarkanmu dan membawamu ke rumah sakit. Namun seperti yang kau tahu, mereka terlambat. Hidupmu sudah kugenggam.

Detak-detik menjelang UTS, 5 April 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun