“Jadi kau siapa? Dan sejak kapan kau mengikutiku?”
Aku melihat jam tanganku—23:30. “Aku Persephone.???? Aku mengikutimu sejak 40 hari lalu.”
“40 hari? Lantas mengapa aku baru melihatmu sekarang?” Kau sudah berancang-ancang untuk menutup pintu. Tapi aku tak gentar. Aku disini bahkan untuk bertamu.
“Karena aku baru menampakkan diriku sekarang.” Aku melihat tanganmu memutar kenop pintu. “Sudah waktunya.”
“Waktu untuk apa?”
“Waktu kematianmu.” Jujur, aku tak menyukai momen ini. Kupikir kau juga, karena peluh di dahimu mulai berembun dan jatuh perlahan. “Kuharap kau puas dengan kematianmu. Kau sudah melihat rumahmu tadi, bukan? Dan ibumu? Dan adikmu? Kau pikir mengapa adikmu tiba-tiba mendadak kesini?”
Kau diam tak bergeming.
“Aku sengaja tak mempertemukanmu dengan ayahmu. Kutakut ia akan mengusirmu lagi, dan hal terakhir yang kau ingat adalah permintaannya akan sebuah teve layar datar.”
Dengan gerakan secepat kilat kau menutup pintu kontrakanmu. Namun aku tahu, kau belum beranjak dari tempatmu. Kau masih mendengarkanku.
“Kau tahu, kematian tak seburuk yang kau kira. Bahkan tak sepedih cerita orang. Kau hanya perlu tersenyum padaku. Maka aku akan tersenyum padamu.”
“Hanya orang gila yang tersenyum pada kematian,” teriakmu dari dalam.