“Lantas orang gila itu adalah orang terbaik yang pernah hidup di bumi. Mereka yang percaya akan kematian, sudah menyiapkan segalanya bahkan menyambut kedatanganku. Kuharap kau pun begitu.”
“Lantas, pergilah! Aku belum menyiapkannya. Aku belum ingin menerimamu sebagai tamuku.” Kau masih bersikeras tak mau membukakan pintu.
Aku menggeleng, “dan kau terlambat.”
Api muncul dan menyebar. Ini bukan ulahku. Mungkin kau yang lupa untuk mematikan kompor ketika pergi. Bukan keluar, kau malah menuju dapur untuk memadamkan api itu. Maafkan aku yang tak membantumu. Karena bukan tugasku untuk melakukan itu.
Dan disitulah engkau. Terengah-engah, kehabisan napas, sambil bertumpu pada dinding kamar. Dahimu penuh dengan keringat. Dan seluruh tubuhmu memerah.
“Aku lupa mengatakan, bahwa orang gila yang tersenyum pada kematian bukan hanya orang terbaik di antara kalian. Namun juga orang yang telah menyerah pada kehidupan. Kuberharap kau ada dalam kategori pertama. Walau kenyataannya tidak.”
Asap memekatkan pandanganmu padaku. Namun kupikir kau masih bersikeras untuk mendengarkan dengan seksama. Api bertambah besar, dan orang-orang mulai berdatangan. Mereka berusaha untuk mengeluarkanmu dan membawamu ke rumah sakit. Namun seperti yang kau tahu, mereka terlambat. Hidupmu sudah kugenggam.
Detak-detik menjelang UTS, 5 April 2017.