“Apa ini?” Firasatmu berkata bahwa ini adalah permintaan ibumu yang lain. Apa sekarang ibumu bahkan membuat daftar tentang apa saja yang akan dibelinya ketika kau gajian, atau mungkin ini adalah gambar panci yang ia inginkan. Namun…
“Kau menunggak 3 bulan, Lai?”
Adikmu hanya menunduk, menggerak-gerakan jari kakinya dengan tak bertenaga. “Laila nggak berani minta bayaran sekolah ke ibu atau bapak. Laila sudah ngumpulin uang sendiri, bang, buat bayar sekolah. Cuma uangnya kemarin dipinjam ibu. Katanya buat arisan.”. Adikmu menarik napas, lalu menangis pelan-pelan. Mau tak mau kau memeluknya. Dan malam itu akhirnya kau kembali lagi ke rumah.
Satu bulan bulan terusir, membuat tempat ini tak lagi terasa rumah. Beruntung, bapakmu sedang keluar. Mungkin kalau tidak, kau akan diusir sebelum menyentuh gagang pintunya. Laila sudah berhenti menangis. Dan ban sepedanya pun sudah diperbaiki. Uang terakhir yang berada di dompetmu—selembar 100 ribu—kau berikan kepada Laila untuk menyicil uang sekolahnya. Sambil berharap, esok adalah tanggal tiga puluh. Tanggal dimana dompetnya tak terasa sepi.
Malam itu juga, kau mungkin tak menyangka akan bertemu denganku. Saat itu, aku masih menunggu bis kota. Kau dengan wajah kusutmu melakukan hal yang sama. Sampai tibalah sang bis. Dan kita sama-sama menaikinya.
Sabtu malam mungkin adalah hal yang berbeda. Bis yang seharusnya sepi, masih tampak ramai oleh para remaja. Aku menengok jam tangan—23:00.
Kau dan aku turun di pemberhentian yang sama. Egoisnya kau tak menyadari langkahku yang tepat di belakangmu. Atau bayangku yang berjalan beriringan di sampingmu. Sampai kau tiba di depan pintu kontrakanmu, barulah kau berbalik dan memandangku.
Aku terlalu kaget untuk tersenyum. Kau pun begitu. Selama beberapa detik kita menatap tanpa bicara, sampai akhirnya kau bertanya, “siapa ya?”
Entah mengapa lidahku kelu. Bibirku gagu. Lalu dengan sangat perlahan, “Aku tamumu.”
“Apakah kita pernah bertemu?” tanyamu lagi.
Aku menggeleng.