Tangan itu, tak bernadi lagi. Dan napasnya… Mungkinkah ia bernapas sangat pelan? Atau memang ia tidak bernapas lagi? Aku langsung menghambur ke luar dan menarik siapa saja yang berada di sana.
Memang. Lelaki tua itu benar-benar telah pergi. Pemakamannya terjadi sore itu juga. Dan malamnya aku benar-benar terlalu sibuk untuk memikirkannya, hingga kantukpun tak kunjung datang. Album foto.Untuk apa seorang lelaki tua yang bahkan tak mengenalku memberikan album foto itu?
Dan siapa Merisa?
Kutemukan jawabannya di halaman pertama foto itu.
Seorang lelaki muda, anak perempuan kecil, dan perempuan. Sebuah keluarga. Di bawah foto itu tercatat, ‘Ulang tahun Merisa yang pertama’. Walau tak ada kue atau sebuah lilin yang menyala, mungkin senyuman itu adalah hadiah kelahiran anak mereka yang paling berharga.
Mungkinkah lelaki tua itu mencari anaknya yang hilang? Berdasarkan kabar yang beredar, anaknya menjadi korban penculikan. Tapi siapa Merisa? Dan dimana aku bisa menemukannya?
Pintu kamarku tiba-tiba terketuk. Kuambil selimut dan kusarungkan menutupi seluruh tubuhku. Ternyata ibu yang masuk untuk mematikan lampu.
Dan sebuah pemahaman mendadak menyiram kepalaku hingga kuyup. Satu-satunya Merisa yang kukenal adalah… wanita yang baru mematikan lampu kamarku. Ya, ibuku. Fakta bahwa tak pernah sekalipun ibu menceritakan orang tuanya, ataupun asal usul keluarganya, membuatku jatuh tertidur.
Dalam mimpi, lelaki tua itu tersenyum padaku. Senyum yang persis sama ketika merayakan hari ulang tahun Merisa yang pertama. Dan senyum yang persis sama ketika aku diam-diam menatapnya di halte bus kota.
Masih memandanginya, 3 Maret 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H