Ada beberapa hal yang tak pernah berubah sejak dua puluh tahun hidupku; rumahku, sudut-sudut jalanan, dan lelaki tua itu. Jika kau tinggal di kota ini, kau pun akan menemukan seorang lelaki tua yang tak pernah beranjak dari sebuah halte bus kota. Ia mengendarai sepeda tua yang di belakangnya terikat beberapa balon. Kata ibu, ia berjualan balon. Tapi bahkan anak kecil pun tak tertarik untuk membelinya. Balonnya hanya berjumlah empat. Tanpa pernah ada tambahan di setiap harinya.
Pandangan lelaki tua itu hampa, kosong, mungkin sedikit agak tak bernyawa. Wajahnya lusuh, sama seperti pakaiannya. Kedua tangannya keriput, mungkin terlalu sering memegang kendali sepeda. Dan kulitnya legam, tak salah lagi karena terbakar siang.
Tua. Renta. Sendirian. Kudengar istrinya meninggal terlindas kereta ketika sedang berjualan, puluhan tahun lalu. Anak tunggalnya diculik oleh sang rentenir sebagai penggantian utang. Dulu sekali, bukan di sini tentunya, ia berjualan balon juga. Lengkap dengan warna dan bentuk yang beragam. Sepeninggal istri dan anaknya, ia pindah ke halte ini dan menjual empat balon dengan bentuk yang sama sekali tak mengundang perhatian.
Orang-orang di kota ini tentunya telah terbiasa dengan kehadirannya. Bukan sebagai penjual balon, lebih kepada seorang kakek yang sebatang kara. Kurasa setiap hari ada saja seseorang yang memberinya makanan secara sukarela. Tak jarang pula mereka mengajaknya mengobrol, walau hanya dibalas dengan anggukan dan gelengan.
Kehadirannya bagaikan sebuah rutinitas harian di tengah hiruk pikuk pinggiran Jakarta. Maka tak ada yang lebih mengusik perhatianku ketika lelaki tua itu tidak kelihatan dengan sepeda tuanya. Bahkan kurasa halte bus ini tampak sangat berbeda tanpa kehadirannya. Lantas, kutunggu ia. Tak peduli bahwa setengah jam lagi perkuliahan akan dimulai. Atau fakta bahwa sebuah metro mini sudah menunggu dan membunyikan klaksonnya berkali-kali di depan.
Jam 9. 10. 11. 12.
Lelaki tua itu tak muncul juga.
Akhirnya setelah berdebat sendiri, kuputuskan untuk mendatangi rumahnya atau yang lebih pantas disebut gubuk tuanya. Rumah itu sudah sangat rapuh. Mungkin dengan sekali dorongan besar, ia akan langsung roboh seketika.
Pintunya sangat berkarat. Lantainya kasar, mungkin dibuat oleh tumpukan karung. Dan bau obat nyamuk bakar yang pertama kali menyapa ketika kau tiba di tempat ini. Jika di rumahmu terdapat sebuah gudang, maka rumah ini cocok sekali untuk disebut demikian.
Sarang laba-laba menyeruak di berbagai sudut. Belum lagi kotoran telur cicak yang berhamburan. Tapi yang paling parah dari semua ini hanyalah penerangan yang sangat suram. Walau di siang hari, rumah itu tampak sangat gelap. Dilihat dari bayangannya, tampak hanya ada satu lilin yang menerangi di dalam rumah.
Kuketuk pintunya. Sekali. Dua kali. Tak terbuka juga.