Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pria Berbaju Lusuh

27 Januari 2017   10:21 Diperbarui: 7 Juli 2017   14:45 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Atau mungkin besok namamu tertulis di catatan si pencabut nyawa?” Luci melipat kedua tangannya. Meringis. “Pal, saya belum siap kehilangan seorang teman.”

Saya menjambaki kepala. Sudah seminggu ini otak saya selalu saja macet. Rasanya benang di pikiran saya sudah tak bisa menemukan lagi jalan keluarnya.  “Pikirkan saja andai semuanya berhasil.”

“Saya tak bisa memikirkan sesuatu yang tak nyata. Saya ini bukan manusia yang suka mengkhayal, Pal.” Luci tersenyum sekarang. Tangannya yang hangat melingkari pundak saya yang hanya berbeda setengah inci dari usayaran pundaknya. “Kamu mempunyai banyak pilihan untuk menunjukan rasa sukamu. Tidak dengan cara itu.”

“Jangan korbankan dirimu.”  Luci berkata lagi. Tapi saya tetap mengelaknya. Dan perdebatan selanjutnya membuat Luci menyerah dan memutuskan pergi.

--

Besok.

Pagi masih dini. Matahari belum juga menampakan diri. Tapi pria berbaju lusuh itu—Armadi—sudah berjalan mengitari petak-petak padi. Tangan kirinya menenteng tangki sprayer yang diisi penuh dengan cairan pestisida. Sedang tangan kanannya mengangkut selang penyemprot dan masker guna menutupi hidung dan mulutnya.

Hari ini padinya sudah tumbuh setinggi 90cm. Mungkin hanya butuh satu bulan lagi untuk pemanenan. Terpikirkan oleh Armadi hal-hal yang menyenangkan. Setelah pemanenan, mungkin ia bisa melunasi hutang-hutangnya ke warung bang Mamang. Malu sekali rasanya harus berjalan di depan orang yang meminjamkan utang.

Setelah pemanenan ia juga akan melunasi tunggakan biaya sekolah sang Adik, lalu berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada pakde Sutarman—sang kepala sekolah—yang telah memberinya waktu tenggang tak terbatas.

Dan terakhir, hal yang ingin ia beli setelah dapat uang dari pemanenan adalah handphone. Hidup di zaman sekarang tak bisa dipungkiri Armadi bahwa handphone adalah suatu nyawa tersendiri. Dengan handphone, ia akan terhubung dengan dunia luar. Dengan handphone pula, ia akan mempunyai hidup yang lebih berwarna. Begitulah pikir, Armadi. Lagi pula ia ingin sekali foto berdua dengan Sulastri—seorang gadis desa yang sah dipacarinya dua hari lalu. Lalu memposting foto di halaman facebook, sambil mengutip status: “Akhirnya resmi juga jadi pacarku.”

Armadi menyeloteh terus menerus dalam pikirannya sampai tak sadar tanki yang tadi terisi penuh oleh pestisida mulai menyurut habis. Hama yang bertebaran mulai jatuh ke tanah. Dan kini padinya pun melenggak lenggok dengan sumringah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun