Kau tersenyum. Lalu mempersilakannya duduk. Dan diayang kubenci mulai mengajakmu berbincang. Mula-mula dia menanyakan kabarmu lalu keadaan keluargamu. Lalu dia mengusik hobimu, kebiasaanmu di waktu luang, dan berakhir dengan kegiatanmu di akhir pekan. Aku tahu semua basa-basi ini akan menjurus ke arah mana. Namun sayang, aku tak mungkin mencegahnya. Dan terjadilah. Permintaan yang tak kusangka akan membuat matamu dua kali lebih berbinar dan senyum dibibirmu dua kali lebih lebar—permintaan untuk berkencan.
Tiga jam setelahnya.
Kau mulai sibuk melayani pelanggan, sedangkan dia sibuk memerhatikan. Satu dua kali dia berinisiatif membantu. Di lain waktu dia lebih sering mengajakmu bercerita—tentang kehidupanmu, rutinitasmu, dan segala daftar keinginanmu. Mungkin, besok atau lusa, dia akan datang kembali sembari membawa bingkisan lain yang kau idam-idamkan.
Semenjak dia rutin datang kemari, aku seringkali mengutuki jati diriku sebagai laki-laki. Jika saja aku dilahirkan menjadi seorang wanita. Mungkin aku tak perlu tersiksa ketika melihatmu berjalan bersamanya. Mungkin aku bisa menjadi teman curhatmu yang mengeluhkan banyak hal tentang seorang pria. Mungkin kita bisa menghabiskan waktu dengan bercanda, saling mendengarkan cerita dan menghibur sesama.
Namun garis takdir melahirkanku sebagai seorang lelaki. Menjadi kodratku untuk menyukai dan mencintai seorang gadis sepertimu. Kodratku juga untuk membuat obrolan manis serta menghadiahkan setangkai mawar untukmu.
Namun ketika dia datang dari balik pintu. Kau tahu, semua garis takdir ini menjadi tak berarti lagi bagiku.
Satu jam terakhir.
Awan putih yang menggantung di angkasa mulai diselimuti jingga. Kau memeriksa sekali lagi dengan seksama. Etalase. Jendela. Lemari. Rak-rak baju. Hingga akhirnya kau memutuskan untuk mengunci pintu dan pulang bersamanya.
Aku?
Aku tetap di sini. Membeku. Meragakan baju.
Ingin sekali aku mengejarmu. Sambil membawakan setangkai mawar atau coklat beku. Namun sekali lagi, aku tak mampu.