Bagi orang yang tak terlalu mengenalmu, mungkin tak melihat perbedaan apa yang merayapi cara berpakaianmu. Tapi bagiku, tampak jelas sekali perbedaan itu dalam dirimu.
Kini, kau tak lagi mengenakan rok blusmu yang biasa. Kau lebih sering mengenakan celana. Aku tak mengerti, mungkinkah kau ingin menunjukan kalau kau juga mempunyai kaki jenjang seperti wanita lainnya?
Kau juga mulai melepas jepit rambutmu dan menggerainya ke bawah. Mungkinkah kau ingin menunjukan bahwa rambutmu tak kalah menarik dari model shampo ternama? Dan, sekarang, kaupun memoles wajah manismu dengan berbagai riasan ala artis ibukota. Mungkinkah kau ingin tampil cantik untuk menarik perhatian seseorang? Bagaimanapun juga, kemungkinan terakhirlah yang paling membuat tidurku tak tenang.
Pagi ini kau datang dengan berbagai detail yang kuperkirakan sebelumnya. Celana jins, rambut tergerai, dan polesan wajah. Seperti biasa, kau menyapa setiap orang yang kau temu, termasuk aku. Dari sekian banyak perbedaan yang merayapimu, setidaknya aku tahu, masih ada satu kebiasaan lama yang tak pernah kau ubah yaitu tersenyum pada semua orang.
Satu jam pertama.
Entah mengapa kamis pagi ini jalanan tampak sepi. Hanya beberapa orang yang berlalu lalang dan bersantai di tepian. Mobil dan motorpun jarang berkeliaran. Hanya satu dua sepeda yang meliuk pelan mengikuti jalan.
Kau duduk termangu di pinggir etalase. Tanganmu terpangku di atas lutut yang kau silangkan. Kedua kakimu di goyang ke depan dan belakang. Sedang telunjuk dan jari tengahmu, mengetuk dagu bergantian. Aku tahu persis inilah rutinitas yang akan kau lakukan ketika kau mulai bosan. Mungkin sebentar lagi kau akan membuat segelas kopi dan mengunyah keripik kacang.
Dan kalau kopi dan keripik kacang tak juga membunuh rasa bosanmu, biasanya kau akan mengajakku bercengkrama. Walau selalu menjadi pilihan terakhir, toh aku senang juga. Mendengarkan tentang kebosananmu, ibumu yang selalu mengomentari pilihan pakaianmu, sampai adik yang selalu menyempatkan waktu untuk menjahilimu, mungkin adalah sesuatu yang sangat kutunggu-tunggu. Kalau sedang beruntung, kau akan terus mengoceh hingga jam makan siang karena tak satupun pelanggan yang datang.
Tapi kini, kau tak lagi menceritakan masalah hidupmu. Kini, kau memilih menceritakan dia. Aku tahu betul siapa diayang kau maksud. Dia,lelaki yang membawakanmu setangkai mawar bersama coklat hitam. Dia,yang selalu menunggumu di balik etalase dan mengantarkanmu pulang. Dia,yang membuat senyum di bibirmu dua kali lebih lebar. Dia,yang sangat kubenci kehadirannya.
Dua jam berikutnya.
Kau yang tadinya masih duduk termangu di pinggir etalase jendela mendadak bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Seseorang yang sedari tadi kau bincangkan kini tiba di bibir pintu. Dengan senyum khasnya, ia menyapamu, sembari menyelipkan lagi bingkisan kecil yang kuyakin adalah coklat beku.