Namun, tanpa memikirkan rengekanku. Tanpa memikirkan tangisanku. Ibu pergi, tanpa menatap ke belakang lagi.
Malam itu, malam dua belas tahun yang lalu. Adalah malam di mana aku berjanji untuk selalu datang ke dermaga ini dan menunggu Ibu pulang. Tak peduli ada kapal ataupun tidak. Tak peduli sedang hujan ataupun tidak.
Dan di mana dirimu sekarang, Bu? Anak laki-lakimu yang kau tinggal masih setinggi gagang pintu sekarang menjulang jauh. Tinggiku sekarang seratus tujuh puluh. Aku sudah lulus SMA. Dan kemarin baru saja mendaftar beasiswa untuk meneruskan ke jenjang sarjana.
Sekarang aku tidak pernah merengek lagi, Bu. Aku juga tak harus diingatkan lagi untuk mandi, makan, dan mencuci. Aku sudah mandiri. Setiap pagi, aku berjualan gorengan yang kuambil dari Mbok Ayu. Dia sangat berbaik hati untuk membagi hasilnya penjualannya denganku. Dan kemarin sore, Pan Wayan baru saja memintaku untuk menjadi guru les anaknya. Aku sebenarnya takut kalau ilmu yang kuajarkan ternyata salah. Tapi aku kembali mengingat ucapanmu, bahwa mengajar adalah salah satu cara mengabdi untuk ilmu itu sendiri.
Bu, sudahkah kau makan hari ini? Tadi pagi aku mencicipi bubur ayam Ida Made, dan kembali teringat padamu. Dulu kita seringkali membagi semangkuk bubur ayam ini untuk berdua. Kau pasti memberikan suiran ayam dan kacangnya padaku. Kau bilang, bahwa kau tak suka ayam dan kacang. Tapi matamu menyiratkan kebohongan, aku tahu kau menyukainya. Kau hanya tak ingin aku kehilangan selera makan.
Bu, sudahkah kau melihat berita hari ini? Aku sudah muak melihatnya Bu, karena sejak seminggu lalu isi berita hanya tenggelamnya kapal di dekat perairan kita. Aku juga benci, karena namamu terus-terusan disebut sebagai salah satu korban. Tapi, tenang, Bu. Aku tidak akan mempercayai berita murahan itu. Walau kemarin pihak kepolisian mendatangiku dan memintaku untuk mengonfirmasi tentang jasad yang mereka pikir adalah jasadmu. Aku tetap menolak itu.
Bukan aku bermaksud mengelak kenyataan. Tapi aku lebih meyakini janji yang kau ucapkan.
Maka, malam ini, aku kembali lagi ke sini, Bu. Ke tempat di mana kau mengajakku untuk menyaksikan kepergianmu. Sesaat setelah petasan pertama diluncurkan ke angkasa. Dan sebuah kapal besar berkarat meninggalkan dermaga.
“Kapan kau kembali?”
Karena aku tak pernah lelah untuk menanti.
Tertanda,