Ia hanya menggeleng. Menatap sesuatu yang tak bisa kujangkau karena ketinggianku. Lalu jemarimu menunjuknya. Sesuatu di kejauhan yang amat besar. Sebuah kapal.
“Ibu hendak pergi jauh?” lagi-lagi aku bertanya.
Tapi pertanyaanku kali itu hanya dijawab hembusan angin pantai yang meliuk di antara silir kelapa. Ibu lalu menggamit tanganku. Menariknya mendekat ke dermaga itu.
Dari dulu aku tak begitu menyukai dermaga. Ibuku juga. Alasan klasik sebenarnya. Karena dermaga telah membawa Ayah pergi ke negeri asing lalu tak membawanya kembali. Dan karena dermaga yang telah membawa satu-satunya saudara yang kupunya pergi ke lautan ganas dan ditelan sekali napas.
“Jangan pergi, Bu.” Dan persis di tempat kuberdiri ini, aku merapal kalimat itu berkali-kali.
Ibu tak menggubris. Tak pula memarahiku ketika aku mulai menangis. Ia hanya terdiam. Diam yang sesungguhnya sangat kutakutkan.
Lonceng kapal berbunyi. Pertanda bahwa perjalanan akan dimulai sebentar lagi.
Ibu menyejajarkan wajahnya denganku. Lalu tersenyum. “Ibu akan kembali.”
“Jangan pergi, Bu,” pintaku tak menghiraukan janjinya.
“Ibu akan kembali lagi bersamamu.”
Jangan mempercayai dermaga ini, Bu. Jangan pergi…