Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Penjual Bunga

21 November 2016   09:15 Diperbarui: 21 November 2016   18:54 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: shutterstock

Apa yang pertama kali terbesit di pikiranmu ketika kukatakan gadis penjual bunga? Seorang wanita cantik? Berkulit putih? Dan tersenyum ramah? Berarti selama ini kau salah besar. Gadis penjual bunga yang selalu melewati depan rumahku adalah wanita yang selalu berpakaian hitam, berwajah mengerikan, dan tersenyum muram. 

Gadis penjual bunga itu setiap harinya berjalan kaki sambil menenteng sekeranjang bunga. Tak pernah sekali-kali kulihat ia berhenti dan menawarkan bunganya. Ia selalu saja menunggu seseorang untuk membelinya tanpa diminta.

Menurutku itu adalah taktik penjualan yang bodoh. Tapi siapa sangka, setiap hari pasti ada saja seseorang yang membeli bunga itu. Entah anak kecil yang sedang bermain, ibu-ibu yang tak sengaja berpapasan, sampai seorang kakek renta yang selalu duduk-duduk di taman.

Pernah suatu hari aku berpapasan dengan si gadis penjual bunga yang sedang melayani pelanggannya. Aneh. Dia tak berbicara. Ia menunjukan berbagai macam bunganya melalui isyarat tangan. Dan ketika sang pelanggan setuju untuk membeli, ia akan tersenyum, senyum yang menurutku tampak jauh lebih mengerikan. Senyum licik penuh kemenangan. Aku bertanya-tanya: Inikah caranya menunjukan kesopanan?Aku menggeleng sangsi.

Keesokan harinya aku menemukannya lagi. Si gadis penjual bunga itu sedang duduk di bangku taman tampak merenung. Tak biasanya ia duduk begitu. Yang kutahu, si gadis penjual bunga akan selalu berjalan mencari-cari pelanggannya yang baru. Tanpa kenal siang yang menyengat ataupun sore yang selalu dibasahi hujan.

Entah mengapa aku ingin sekali mendekatinya. Bercakap sebentar dengannya. Mungkin juga membeli setangkai bunga darinya. Aku tak mengerti. Melihat wajahnya yang selalu muram, aku jadi kasihan. Mungkin hari ini ia belum dapat pelanggan.

“Kamu punya mawar putih?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.

Si gadis penjual bunga menatapku sebentar. Lalu mengangguk dan menyodorkan setangkai mawar putih itu kepadaku.

“Berapa?” tanyaku sambil meraih mawar itu darinya.

Tangannya menunjuk angka sepuluh. Maka kukeluarkan selembar sepuluh ribuan yang tertinggal di dompet biruku yang lusuh.

Si gadis penjual bunga itu menerima uangku. Dan kini ia tersenyum. Senyum yang menurutku masih tampak jauh mengerikan daripada ia diam.

“Sudah lama berjualan bunga?” Aku sendiri tak mengerti mengapa melanjutkan bertanya.

Si gadis hanya menunjuk angka tiga. Mungkin tiga bulan, tiga minggu, atau tiga tahun. Aku tak tahu mana yang dimaksudnya.

Lalu aku terdiam lama. Rupanya cukup sulit untuk berbicara dengan orang yang tak mau mengeluarkan suara. Maka saat itu kuputuskan untuk berpamitan padanya dan pulang.

Tak kusangka si gadis penjual bunga itupun bangkit dan menuju ke arah yang berlawanan. Dan aku, tak menepati janjiku untuk pulang. Aku malah mengikutinya.

Si gadis penjual bunga membawaku ke suatu tempat yang cukup sepi di tengah kota. Mana lagi kalau bukan di pemakaman. Aku tak mengerti, apakah ia mau menawari bunganya kepada para pelayat? Ya, kemungkinan besar.

Tapi ia tak menuju ke keramaian pelayat. Gadis penjual bunga itu malah menuju ke makam yang baru disinggahi dan memunguti bunga-bunga segar yang tersebar di atasnya.

Dahiku berkerut. Pikiranku menerka-nerka. Untuk apa ia melakukan itu?

Tapi saat itu, si gadis penjual bunga menyadari kehadiranku. Dan dua bola matanya yang tajam, kini siap menghujamku dengan beribu pertanyaan. Aku kalap. Tapi ia tersenyum. Senyum yang jauh lebih mengerikan dengan senyum mengerikannya yang biasa.

Badanku melemas. Kakiku terasa berat untuk melangkah. Dan si gadis penjual bunga mendekatiku. Ia berbisik manis di telingaku. “Kau jadi sudah tahu siapa aku?”

Aku menggeleng tak mengerti. Entah mengapa aku tak berpikir untuk lari.

“Aku adalah gadis penjual bunga.” Ia memperkenalkan diri. “Tapi bukan bunga biasa yang kujual.”

Kini pandanganku mulai mengabur oleh keringat dingin.

“Bunga yang kujual adalah bunga kematian,” lanjutnya dengan derik suara irisan pisau yang biasa kudengar di dapur ibu.

Gadis penjual bunga menyentuh rambutku, lalu menyingkirkannya agar ia bisa langsung berbisik ke telinga kiriku. “Itu mengapa aku tak pernah menawari seseorang untuk membeli bungaku. Karena setiap orang dibebaskan memilih sendiri waktu kematiannya.”

Dengan refleks aku mempererat genggaman mawar putih yang baru saja kubeli darinya.

“Dan kamu. Baru saja memilih waktumu untuk mati, Arumi Diandra.”

Aku mulai mundur teratur. “Kamu tahu namaku?”

Ia tersenyum. “Aku selalu hafal nama-nama orang yang pernah membeli bungaku. Karena aku yang akan menulis nama mereka di nisan-nisan itu.”

Aku gemtaran. Tubuhku terguncang. Tapi kini aku punya kekuatan untuk berlari. Yang terbesit di pikiranku cuma satu: menjauh dari si gadis penjual bunga itu. Tapi sayang, baru beberapa meter berlari, kakiku tersandung batu nisan baru yang semula kupikir tak ada di situ. “Arumi Diandra?”

Aku tersentak melihatnya. Mengapa di nisan itu tertulis namaku? Apakah ada Arumi Diandra selain aku?

 “Lahir: Malang, 30 Juli 1991.”

Aku bergidik menemukan tanggal lahirku benar-benar tertulis di batu itu.

“Meninggal: Yogyakarta, 19 Mei 2011.”

2011? Bukankah itu tiga tahun yang lalu?

Kutengok si gadis penjual bunga. Namun ia sudah tak ada di sana.

Lalu akupun kembali melanjutkan perjalanan. Sambil menenteng sekeranjang bunga kematian yang hendak kujajakan ke setiap orang.

“Sudahkah aku mengenalkan diri? Namaku Arumi Diandra. Orang-orang sering menyebutku si gadis penjual bunga. Bukan bunga biasa yang kujajakan. Melainkan bunga kematian. Kalau kau bersedia membeli bungaku, berarti kau bersedia menjemput kematianmu. Tapi jika kau mengelak untuk membeli bungaku, akan kuhampiri rumahmu setiap waktu.”

 

***

 

 

 

Ujung Jakarta, 19Nov2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun