Kini pandanganku mulai mengabur oleh keringat dingin.
“Bunga yang kujual adalah bunga kematian,” lanjutnya dengan derik suara irisan pisau yang biasa kudengar di dapur ibu.
Gadis penjual bunga menyentuh rambutku, lalu menyingkirkannya agar ia bisa langsung berbisik ke telinga kiriku. “Itu mengapa aku tak pernah menawari seseorang untuk membeli bungaku. Karena setiap orang dibebaskan memilih sendiri waktu kematiannya.”
Dengan refleks aku mempererat genggaman mawar putih yang baru saja kubeli darinya.
“Dan kamu. Baru saja memilih waktumu untuk mati, Arumi Diandra.”
Aku mulai mundur teratur. “Kamu tahu namaku?”
Ia tersenyum. “Aku selalu hafal nama-nama orang yang pernah membeli bungaku. Karena aku yang akan menulis nama mereka di nisan-nisan itu.”
Aku gemtaran. Tubuhku terguncang. Tapi kini aku punya kekuatan untuk berlari. Yang terbesit di pikiranku cuma satu: menjauh dari si gadis penjual bunga itu. Tapi sayang, baru beberapa meter berlari, kakiku tersandung batu nisan baru yang semula kupikir tak ada di situ. “Arumi Diandra?”
Aku tersentak melihatnya. Mengapa di nisan itu tertulis namaku? Apakah ada Arumi Diandra selain aku?
“Lahir: Malang, 30 Juli 1991.”
Aku bergidik menemukan tanggal lahirku benar-benar tertulis di batu itu.