Kalau ditanya apa momen terbaikmu di Kompasiana, jujur saya bingung harus jawab apa. Semua yang pernah saya lakukan dan yang saya sedang lakukan di Kompasiana adalah momen terbaik saya selama 4 bulan belakangan ini. Ya, pada hari ini, 4 November 2016—saya genap berumur 4 bulan sebagai Kompasianer.
Walaupun masih seumur jagung dan berbau kencur, saya sudah merasa begitu nyaman menjadi bagian dari keluarga Kompasiana. Ya—keluarga—karena bagi saya, kompasiana bukan hanya sekedar media untuk mengeluarkan pendapat, melainkan sebuah media dimana kita saling menyapa, berkomentar, menanyakan kabar dan merayakan kebersamaan. Itukah yang sering orang katakana sebagi hakikat sebuah keluarga? Dan saya menemukannya di sini—di Kompasiana tercinta ini.
Yang terbesit di pikiran saya saat pertama kali saya tiba di Kompasiana adalah bingung. Bingung melihat sebuah tulisan yang begitu banjir komentar dan balas sapaan. Dalam hati saya bertanya-tanya, bagaimana cara mereka saling mengenal.
Dan setelah memposting tulisan pertama saya yang berjudul http://fiksiana.kompasiana.com/tututsetyorinie/gadis-dalam-kereta_577c8bc441afbd2016f05b37 —saya jadi tambah bingung—kenapa tulisan saya sepi pengunjung?
Dari keterbingungan itu saya mulai mencari. Bukan mencari di alam khayal, tapi saya benar-benar mencari di searching machine. (re: eyang google)
Bagaimana cara ber-Kompasiana?
Selama berjam-jam pencarian, akhirnya saya menemukan jawabannya. Singkat, padat, jelas.
Hukum newton ke tiga. Aksi – Reaksi.
Kalau mau karyamu dihargai, hargai dulu karya orang lain. Begitulah kira-kira.
Maka dimulailah hari-hari di mana saya mengunjungi tulisan orang lain. Memberikan vote ataupun senyum, salam, sapa. Dan timbal baliknyapun mulai saya rasakan perlahan. Satu persatu—tulisan saya mulai diramaikan—entah berbentuk vote maupun komentar. Saya pun sempatkan membalasnya, di lapak saya, terkadang pula di lapak mereka. Dan, mereka tak tahu. Mungkin tak akan pernah tahu—kalau vote dan komentar adalah hal yang paling saya tunggu ketika saya memposting sebuah tulisan di Kompasiana. (*di samping stempel highlight dari admin*)
Berada di antara orang-orang hebat (re: professor, guru, dokter, bidan, pengamat sosial, psikolog, penyair, dan profesi hebat lainnya) membuat saya merasa sedikit bangga—walau sesungguhnya saya hanyalah pemuda biasa yang harus berkejaran dengan kereta untuk mengemis ilmu dan IP. Keaktifan menulis mereka dengan motto “One day – One article” menggugah keinginan saya untuk turut mengikutinya.Tapi setelah berpikir pendek, rasanya itu menjadi beban yang tak mungkin saya penuhi. Maka dari itu, dengan segala kebimbangan, saya turunkan kualifikasinya menjadi “One Week – One Article.” (semoga kualifikasi ini tidak turun lagi menjadi one month-one article)
Sejak bergabung di Kompasiana semangat menulis saya menjadi relatif stabil. Mungkin ini efek event dan lomba-lomba yang terus di hadirkan Kompasiana maupun komunitas di setiap bulannya. (walau dari sekian event yang saya ikuti, belum satupun yang saya juarai)
Dan puncak momen yang nggak akan pernah saya lupakan seumur hidup adalah datang ke Kompasianival 2016 lalu berkata dalam hati,
Semua ini real. Kompasiana bukan sekedar dunia maya. Ia dunia nyata.
Saya bertemu sosok inspiratif—Opa Tjiptadinata Effendi. Saya bertemu para fiksianer yang suka berbalas-balasan komentar. Saya juga bertemu Zahra E.F, yang ternyata berkelahiran sama dengan saya. Dan para kompasianer lainnya yang hanya berani saya amati dari jauh—karena takut untuk menyapa (re: takut nggak dikenal).
Dan unforgettable moment lainnya adalah ketika mba dan mas admin menstempeli cerpen saya dengan label Headline dan eksis sejenak di halaman depan Kompasiana. Sungguh, tanggal 29 Agustus 2016 adalah tanggal yang akan saya lingkari di kalender dengan tanda bintang-bintang. Karena hari itu, untuk pertama kalinya cerpen saya di baca hampir 400 orang, dengan tiga puluhan vote maupun komentar.
Moment menyentuh lainnya adalah ketika salah satu kompasianer meminta saya untuk membuatkan sebuah cerpen tentang kisah dirinya. Jujur, saat itu saya sangat terharu dan tersentuh. Dan dengan keterbatasan saya—terpenuhilah permintaan itu. (untuk kompasianer yang sengaja saya tdk sebut namanya, saya memohon maaf apabila hasil cerpennya tak sesuai harapan)
Dan terakhir, pesan saya untuk saya sendiri, para kompasianer, pemula, senior, junior, enyak, babeh, om, tante, adek, abang, akang, bude, bulik, nyonya, tuan, dan hamba Allah lainnya.
“Tetaplah menulis. Karena tulisan adalah bukti bahwa kita pernah singgah di dunia ini.”
HAPPY 8th BIRTHDAY, KOMPASIANA!!
Di kamar kostan yang padat namun tetap nikmat, 4 November 2016.
Tutut Setyorinie.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H