Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kam, Boo, dan Jaa

27 Agustus 2016   11:50 Diperbarui: 28 Agustus 2016   10:37 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hei, Boo, lihat di sana! Seorang gadis kecil. Ah, kenapa dia menangis…”

“Caramu mengatakan, seperti itu bukan hal yang lumrah saja, Kam. Sudah ribuan kali aku melihat seseorang menangis di tempat ini, lalu apa yang membedakan? Aku sudah bosan.”

“Lihat dulu, Boo, dia menangis sendirian. Kasihan sekali dia. Kemana sanak keluarganya?”

“Sudahlah, Kam. Paling-paling dia pemulung kecil yang ditinggalkan oleh saudara-saudaranya. Siapa peduli?”

Pohon tua yang dipanggil Kam itu mendadak diam. Ia melirik temannya—Boo—dengan pandangan kesal dan tak mengerti. Lalu digoyangkannya ranting di tubuhnya keras-keras, hingga dedaunan yang sudah menguning terlepas begitu saja terseret angin.

“Apa yang kaulakukan, Kam. Kau mengotori tempat ini.” 

“Aku ingin menarik perhatiannya. Siapa tahu gadis kecil itu melirikku dan bersandar di dadaku.”

“Yang ada mungkin dia lari ketakutan, Kam. Tidakkah kau dengar semua orang menganggap kita angker?” tanya Boo dengan suara penuh misteri.

Kam menggeleng. Sedangkan Boo menyeringai.

“Ah, aku mulai berhasil. Lihat Boo, gadis kecil itu mulai berjalan ke arah kita.” Kam berteriak sambil tersenyum.

Boo hanya mendesah kesal tanpa memerhatikan.

“Yaa kesini gadis kecil. Dan bersandarlah di dadaku yang gagah.”

“Dia tak akan mendengar kita, Kam—bagaimanapun kau mencoba.”

Gadis kecil itu maju selangkah dan memandang sebentar dua pohon tua yang berdiri berdekatan di area pemakaman itu. Pohon yang rimbun—pikirnya pertama kali. Lalu ia jatuh terduduk. Dan kembali menangis tersedu.

“Jangan menangis, gadis kecil. Siapa yang baru saja meninggalkanmu hari ini?” Kam bertanya dalam desah angin.

Memang benar, gadis itu tak mendengar ucapan seorang pohon tua yang bernama Kam itu. Ia terus saja menangis dan menangis tiada henti sampai membuat seluruh bajunya basah oleh air mata.

“Toh dia akan berhenti menangis sendirinya, Kam. Tak perlu direpotkan.”

“Jangan terlalu kasar padanya, Boo. Dia masih kecil. Dia juga sendirian. Oh, sudahlah gadis kecil, semua yang hidup pastilah akan mati. Bahkan kamipun juga akan mati. Semua sudah diatur oleh-Nya. Tak ada yang perlu kau sesali dan juga tangisi,” bisik Kam tak henti-hentinya.

Gadis kecil terus saja menangis di dada Kam. Tapi kali ini tangisnya agak mereda. Dan setelah beberapa saat kemudian, ia tertidur pulas, hingga mendengkur.

“Nah lihat kan, dia berhenti juga,” ucap Boo penuh kemenangan.

Kam mengernyit. “Dia sudah lelah, Boo. Diamlah. Kau akan membangunkannya.”

Malam lalu datang, dan gadis kecil itu bangun dengan setengah terkaget. Ia menatap sekelilingnya dengan bingung. Lalu ia teringat. Ia kembali memusatkan perhatiannya kepada dua pohon tua yang telah menemaninya tertidur tadi.

Gadis itu mengulas senyum. Kemudian memeluk dua pohon tua itu bergantian. Dan bergegas pergi.

“Lihatlah, Boo, dia sudah tersenyum lagi sekarang. Dan dia pulang tanpa air mata.”

Pohon tua—Boo—hanya tersenyum. Mau tak mau ia juga memerhatikan langkah gadis kecil yang perlahan mulai menghilang dalam keremangan malam.

“Hei apa yang kalian peributkan sejak tadi?” tanya seorang pohon tua yang terletak sedikit lebih jauh dari Kam dan Boo. “Ah gadis kecil itu ya?”

“Iya, Jaa. Kasihan sekali dia,” balas Kam yang sudah kehilangan jejak si gadis kecil. “Kau tahu siapa yang baru saja mati—meninggalkannya? Kurasa makamnya dekat denganmu?”

Jaa mengangguk. “Ah ya.. Lima hari lalu, ayahnya mati dan dikubur di sini. Dan tiga hari lalu, neneknya menyusulnya mati. Dan hari ini ibunya pergi juga. Kasihan dia. Sudah tak punya siapa-siapa. Tapi aku barusan melihatnya pulang sambil tersenyum. Benar-benar gadis kecil yang tegar.”

Kam tiba-tiba melihat Boo meneteskan air mata. “Kau menangis, Boo?”

“Tentu aku akan menangis, jika dalam seminggu aku kehilangan semua keluargaku sekaligus. Sungguh gadis yang tegar,” ucap Boo yang kini bersusah payah menghapus air matanya.

Kam tersenyum. Namun itu bukan senyum menghina. Itu senyum kasih sayang seorang sahabat. “Sudahlah, Boo. Caramu mengatakan, seperti itu bukan hal yang lumrah saja.”

27Agustus2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun