“Hei, Boo, lihat di sana! Seorang gadis kecil. Ah, kenapa dia menangis…”
“Caramu mengatakan, seperti itu bukan hal yang lumrah saja, Kam. Sudah ribuan kali aku melihat seseorang menangis di tempat ini, lalu apa yang membedakan? Aku sudah bosan.”
“Lihat dulu, Boo, dia menangis sendirian. Kasihan sekali dia. Kemana sanak keluarganya?”
“Sudahlah, Kam. Paling-paling dia pemulung kecil yang ditinggalkan oleh saudara-saudaranya. Siapa peduli?”
Pohon tua yang dipanggil Kam itu mendadak diam. Ia melirik temannya—Boo—dengan pandangan kesal dan tak mengerti. Lalu digoyangkannya ranting di tubuhnya keras-keras, hingga dedaunan yang sudah menguning terlepas begitu saja terseret angin.
“Apa yang kaulakukan, Kam. Kau mengotori tempat ini.”
“Aku ingin menarik perhatiannya. Siapa tahu gadis kecil itu melirikku dan bersandar di dadaku.”
“Yang ada mungkin dia lari ketakutan, Kam. Tidakkah kau dengar semua orang menganggap kita angker?” tanya Boo dengan suara penuh misteri.
Kam menggeleng. Sedangkan Boo menyeringai.
“Ah, aku mulai berhasil. Lihat Boo, gadis kecil itu mulai berjalan ke arah kita.” Kam berteriak sambil tersenyum.
Boo hanya mendesah kesal tanpa memerhatikan.