Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Balada Churros

26 Agustus 2016   18:48 Diperbarui: 27 Agustus 2016   01:07 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: churros | Sumber Gambar: loolha.com

“Sudah sempurna, Tuan. Tuan sudah sangat tampan,” ucap si pelayan yang baru saja membawa secangkir sangria kepada Tuannya yang baru saja selesai berias.

Sang Tuan mematut diri ke kaca, kira-kira sudah dua puluh kali dalam sehari ini. Sampai sang kaca terlihat bosan untuk memantulkan bayangan Tuannya lagi dan lagi. “Kau tak bohong?”

“Tidak, Tuan. Anda sungguh pangeran tertampan yang pernah saya temui,” jawab si pelayan—masih menunduk patuh di samping Tuannya.

“Bagaimana dengan para Raja dari Negeri seberang? Apa mereka semua sudah menerima pesanku dan bersedia menghadirinya?” tanya sang Tuan, kali ini telah duduk kembali di singgasana.

Si pelayan mengangguk. “Sudah, Tuan. Mereka berjanji akan menghadiri pesta pernikahan Tuan malam ini.”

Sang Tuan Raja mengulas senyum. Dan kemudian bertanya lagi, “dan bagaimana dengan rakyatku? Apa mereka juga akan menghadiri?”

“Tentu, Tuan. Semua rakyatmu sangat menantikan pesta ini. Mereka tak mungkin tak hadir ketika berbagai macam makanan dan buah-buahan lezat terpapar bebas di atas meja.”

“Baiklah pelayanku, silakan tinggalkan aku sendiri.”

Ketika pintu kamar terdengar tertutup. Sang Tuan Raja kembali bangkit dari singgasana dan menuju cermin untuk ke dua puluh satu kali. Ia menancapkan mata begitu dalam di cermin itu, seakan sang cermin bisa memperlihatkan seperti apa pesta pernikahannya malam nanti.

--

Berjarak dua lantai dari kediaman Tuan Raja, seorang Tuan putri bergerak gelisah dalam kamarnya.

“Kau sudah sangat cantik, Tuan Putri. Apa lagi yang mesti digelisahkan?” tanya seorang pelayan. Ia adalah seorang lelaki muda berbadan tegap dengan rambut hitam yang sedikit panjang.

“Bawa aku sejauh mungkin, Arnold. Bawa aku berkelana ke desa atau tinggal di hutan daripada harus menetap disini dan menikah dengan si brengsek Ferdinand,” ucap si Putri. Matanya menggambarkan gurat kebencian dan ketakutan yang sangat dalam.

Sang pelayan menggeleng mantap. “Raja Ferdinand terlalu berkuasa di sini, Tuan Putri. Sekalipun kita kabur, mereka pasti bisa menangkap, cepat atau lambat. Dan aku takut itu akan berujung pada kematianmu, Tuan Putri.”

“Aku lebih mati. Sungguh, Arnold. Aku benar-benar tak tahan, apalagi nanti setelah menjadi istrinya. Tahukah kau sudah berapa wanita cantik yang dinikahinya selama ini?”

Pelayan itu menggeleng lagi—antara tak tahu atau tak berani menjawab.

“Sepuluh!” lanjut si Tuan Putri setengah membentak. “Tinggal tunggu waktu saja untuk menikah dengan orang lain setelah dia menikah denganku.”

“Tapi anda terlalu berharga untuk mati, Tuan Putri. Saya yakin anda bisa melewatinya dan.. dan.. bahagia,” balas si Pelayan takut-takut. Pandangannya ditundukkan sedalam mungkin hingga yang dilihatnya hanyalah lantai marmer tempat ia dan Tuan Putri berpijak.

Tuan putri menggeleng. Setetes air mata berhasil jatuh menggelinding di pipi tirusnya lalu ke kepalan tangannya. “Setelah malam nanti, kau tahu aku tak akan bahagia lagi, Arnold. Kebahagiaanku akan mati. Dan tunggu waktu saja ketika ragaku menyusulnya.”

--

Tak ada orang yang tak mengagumi pesta megah itu. Alunan musiknya. Dekorasi panggungnya. Hingga sajian makanannya—membuat siapapun ingin berlama-lama berada disitu. Kastil megah itu seperti sudah disihir menjadi surga kecil yang sangat memesona.

Semua tamu raja sudah hadir dan duduk di singgasana yang telah disiapkan. Dan sementara itu beratus hingga beribu-ribu rakyat sudah menunggu di luar kastil—antara ingin menyaksikan pernikahan si Tuan Raja dan ingin mencicipi kelezatan kalkun dan berbagai hidangan lezat lainnya.

Upacara pernikahan akan berlangsung sebentar lagi. Raja Ferdinand dan Ratu Gloria sudah siap di tempat masing-masing dengan setelan termewah yang bisa membuat siapapun terpana melihatnya.

Tak satupun orang yang melihat guratan kepedihan di wajah Tuan Putri. Mereka terlalu sibuk terpukau sampai perjanjian pernikahan selesai dibacakan. Lalu Tuan Raja Ferdinand mengecup kening Putri Gloria lembut—yang membuat seisi kastil dibanjiri sorakan serta tepuk tangan yang meriah.

Dan kini saatnya yang paling dinantikan semua orang, yaitu tradisi suap-suapan antara Tuan Raja dan Tuan Putri.

Raja Ferdinand menyuapichurros ke mulut Putri Gloria. Begitupun juga dengan Putri Gloria yang menyuapi churros tapi dari piring yang berbeda. Semula semuanya tampak biasa saja hingga beberapa detik kemudian ketika Raja Ferdinand mulai kejang-kejang dan mengeluarkan busa putih dari mulutnya.

Semua orang tampak panik dan kebingungan. Raja Ferdinand langsung dikelilingi beberapa orang berbaju putih—yang tampak seperti dokter. Tapi naas, wajah raja Ferdinand mulai berubah pucat dan kulitnya mulai sedingin salju. Dan semua orang cukup tahu dan mengerti, bahwa raja mereka telah mati.

--

Kabar kematian Raja Ferdinand telah tersebar ke seluruh penjuru negeri. Ada yang bersedih tapi banyak pula yang mensyukuri. Sementara itu Tuan Putri Gloria terpekur sendirian di kamarnya. Tidak gembira dan tidak juga bersedih. Lebih tepatnya ia tak tahu apa yang mesti dirasakannya saat ini.

Penyelidikan tentang kematian Raja Ferdinand telah dilakukan berhari-hari. Dan menghasilkan kesimpulan bahwa raja mereka mati akibat racun yang dimasuki ke dalam churros saat prosesi suap-menyuap dengan Tuan Putri.

Semua bukti itu merajuk kepada seorang pelayan kastil yang bertugas membawa makanan pada pesta itu. Ia adalah…

“Arnold!” sahut Tuan Putri ketika mendengar kesaksian salah satu penyelidik.

“Tak mungkin Arnold. Aku kenal dia. Ia tak mungkin meracuni Ferdinand,” sanggah Tuan Putri.

“Tapi bukti-bukti yang kami teliti mengerucut ke pelayan itu, Tuan Putri. Dan berdasarkan kesaksian beberapa pelayan di dapur, bahwa Arnold lah yang merancang kue-kue churros itu sendirian. Jadi dia punya banyak waktu untuk menabur racun tanpa dilihat orang.”

“Tapi kenapa hanya Ferdinand yang mati kalau begitu? Mengapa aku tidak ikut mati?” bantah Tuan Putri lagi. Mukanya sudah merah karena menahan amarah.

“Karena churros yang dimakan tuan Raja berada di piring yang berbeda dengan Tuan Putri.”

“Aku tak akan setuju kalau kalian memenggal kepala Arnold hanya gara-gara ini.”

Tapi ucapan Tuan Putri Gloria tak pernah didengar. Malam itu juga kepala Arnold—si pelayan dipenggal untuk dipersembahkan di atas makam Raja Ferdinand. Dan kerajaan mendadak sepi. Gloria semakin tak tahu apa yang harus dirasakannya saat ini. Dilihatnya sisa kue churros yang telah dimakan Ferdinand tergeletak manja di atas mejanya.

Dengan sekali lahap Gloria berusaha menelan semua potongan kue churros yang tersisa di piring itu. Ia sempat melihat sejenak pemandangan di luar kastil yang semuanya hampir tertutup salju. Ranting-ranting yang gundul. Camar-camar yang bernyanyi. Lalu semuanya kemudian menjadi gelap dan sepi.

Dan keesokan harinya kabar kematian baru kembali tersebar ke seluruh pelosok negeri.

“Tuan Putri Gloria bunuh diri dengan kue churros yang telah diracuni.”

26Agustus2016

*churros : donat spanyol
*sangria : minuman khas spanyol yang terbuat dari jus anggur, jeruk dan perasan lemon

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun