"Mak, emak ngapain disini? Ayo pulang. Arul udah dapet ikan buat makan siang kita, mak."
Si Emak—wanita tua bertubuh gemuk pendek—tampak tak peduli.Ia tetap berkutat dalam bak sampah, seperti sedang mencari sesuatu.
"Apa yang emak cari sih?" tanya Arul terheran-heran. Karena baru kali ini ia melihat si Emak sangat terobsesi dengan bak sampah.
"Maakkk!" Panggil Arul ketiga kalinya. Kali ini si emak menoleh sambil terlatah-latah.
"Eeh buset. Eh kodok. Eh curut. Masyaallah, emak denger, Rul. Emak denger," jawab si Emak masih mengelus dada.
"Kalo denger kenapa nggak jawab-jawab, maakk. Mak lagi nyari apa sih?"
"Tadi emak nggak sengaja ngebuang amplop coklat dari pos. Emak kira itu surat tagihan listrik yang biasa. Eh tiba-tiba bapak lu nelpon, nanyain ke emak, amplop coklatnya udh sampe belom, karena isinya cek, Rul. Cek."
"Hah, apa Mak? cek?"
Emak mengangguk-angguk. "Iya itu tabungan bapak lu selama lima tahun di Malaysia."
"Emang berapa Mak duitnya?" Arul bertanya penasaran.
Si emak sudah berkutat lagi dengan tong sampah di sebelahnya, "100 juta."
"Waduh!"
Arul mau tak mau membayangkan sebesar apa uang 100 juta itu. Mungkin uang itu ia bisa digunakannya untuk membeli sepeda baru, baju baru atau bahkan rumah baru. Mengingat rumah kardus yang selama ini ditinggalinya sudah berlubang dimana-mana. Ia juga tak perlu memancing dulu di kali sebrang setiap kali hendak makan. Mungkin dirinya dan Emak bisa berkeliling untuk mencicipi makanan mewah di restoran yang berbeda setiap harinya dan menenggak Capuccino di kafe terkenal seperti yang selama ini diimpikannya bersama Iwan-tetangga sebelah.
Tiba-tiba tangan Arul ikut terbenam dalam bak sampah.
"Ayo kita cari, mak."
25Agustus2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI