“Kakak nggak bisa menemani kamu, dik. Kakak harus kerja. Kakak harus pulang ke rumah,” bantahku cepat.
Mata gadis kecil sekali lagi menerawang ke arah jendela. “Tapi rumah kakak sekarang disini. Bersamaku.”
“Apa maksud kamu?” tanyaku.
Dan kemudian gadis kecil itu mengarahkan jemarinya ke arah jendela yang semenjak tadi diperhatikannya. Aku maju selangkah supaya bisa melihat lebih jelas. Dan aku melihat mobilku terparkir di sebuah jalan raya yang letaknya tak jauh dari gedung ini dengan kondisi rusak parah—seperti baru dihantam sesuatu. Beberapa anggota polisi tampak berjaga disitu ditemani dengan beberapa orang warga yang bersedia membantu. Mereka tampak sedang berusaha mengevakuasi sesuatu. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat diriku sendiri sedang berusaha dikeluarkan dari mobilku yang rusak parah itu. Aku tampak terluka dimana-mana. Wajahku terlihat sepucat salju. Bajuku dipenuhi darah.
“Apa maksud semua ini?” aku bertanya sendiri. Mengapa aku di sini sedangkan ragaku di sana. Tak sadar mataku menelusuri kedua tangan, wajah dan juga kakiku—mengapa semuanya di penuhi bercak darah?
Gadis kecil itu lalu mengulas senyum. Tapi aku tahu itu bukan senyum biasa. Itu senyum kemenangan.
24Agustus2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H