Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FITO] Rumah Baru

25 Agustus 2016   09:50 Diperbarui: 25 Agustus 2016   11:04 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tak mengerti mengapa kakiku bisa tiba di gedung tua ini. Bukankah gedung ini ialah gedung angker di pinggir jalan yang sering kulewati ke tempat kerja? Ya, sudah lama aku mendengar desas-desus tentang keangkeran gedung ini. Semenjak aku kecil hingga sebesar ini cerita horror terbaru terus saja terdesus di gedung tua ini. Seperti ada seseorang yang sengaja mengipasi agar tetap hangat di telinga.

Kakiku terus melaju semakin dalam. Dan lamat-lamat aku mendengar desah tangis seorang gadis kecil di ujung tangga. Aku menghampiri.

“Kamu kenapa menangis, dik?”

“Tak ada yang mau mengunjungiku kesini!” 

Aku menatap heran. “Tapi aku disini.”

Gadis kecil itu perlahan mendongakan kepalanya. Entah mengapa aku tak begitu kaget ketika melihat banyak sekali bercak darah di wajahnya. 

“Kakak baik sekali mau mengunjungiku. Tak ada yang mengunjungiku sebelumnya. Mereka bilang aku ini hantu. Mereka bilang gedung ini berhantu. Padahal mereka belum lihat, bahwa gedung ini sangat indah. Bahkan gedung ini adalah gedung terindah yang pernah kutemui.”

Mau tak mau mataku kembali menelusuri gedung tua ini. Hiasan dindingnya. Lantai marmernya. Lampu gantungnya. Ya, aku tak menyangkal bahwa gedung ini sangat indah.

“Kamu benar...”

“Tapi kenapa teman-temanku tak ada yang mau kesini? Mengapa semua orang bilang aku sudah mati? Aku nggak mengerti, kak,” lirih gadis kecil itu. Matanya menerawang ke arah jendela besar di sebelahnya—seperti memerhatikan sesuatu.

“Tapi kayaknya aku nggak akan kesepian lagi. Karena kakak telah datang kesini.”

“Kakak nggak bisa menemani kamu, dik. Kakak harus kerja. Kakak harus pulang ke rumah,” bantahku cepat.

Mata gadis kecil sekali lagi menerawang ke arah jendela. “Tapi rumah kakak sekarang disini. Bersamaku.”

“Apa maksud kamu?” tanyaku.

Dan kemudian gadis kecil itu mengarahkan jemarinya ke arah jendela yang semenjak tadi diperhatikannya. Aku maju selangkah supaya bisa melihat lebih jelas. Dan aku melihat mobilku terparkir di sebuah jalan raya yang letaknya tak jauh dari gedung ini dengan kondisi rusak parah—seperti baru dihantam sesuatu. Beberapa anggota polisi tampak berjaga disitu ditemani dengan beberapa orang warga yang bersedia membantu. Mereka tampak sedang berusaha mengevakuasi sesuatu. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat diriku sendiri sedang berusaha dikeluarkan dari mobilku yang rusak parah itu. Aku tampak terluka dimana-mana. Wajahku terlihat sepucat salju. Bajuku dipenuhi darah.

“Apa maksud semua ini?” aku bertanya sendiri. Mengapa aku di sini sedangkan ragaku di sana. Tak sadar mataku menelusuri kedua tangan, wajah dan juga kakiku—mengapa semuanya di penuhi bercak darah?

Gadis kecil itu lalu mengulas senyum. Tapi aku tahu itu bukan senyum biasa. Itu senyum kemenangan. 

24Agustus2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun