“Kau harus percaya padaku, Dermaga. Bahwa aku mencintaimu,” desah sebuah kapal tua yang catnya sudah tampak mengelupas. Meski begitu, sang kapal masih terlihat tampan dan gagah dengan senyumnya yang membuat siapapun bisa melunak.
Dermaga mengerucutkan bibir. Wajahnya setengah tertutup oleh kabut malam yang semakin kelam. “Ah, kamu terlalu banyak mengumbar janji, Kapal. Aku bosan.”
Kapal mendesah keras. Air mukanya menampakan kekecewaan yang sangat dalam. “Maga, maafkan aku. Tugasku sebagai sebuah kapal memang haruslah begini. Mengantar barang hari demi hari.”
“Ya, aku tahu,” ucap Dermaga setengah membentak. Tampak di pelipis matanya bulir-bulir air yang hendak menjatuhi pipi—tapi ditahannya sekuat diri. “Tapi kau tak pernah meluangkan waktu sedikitpun untuk bersamaku. Malam kembali, pagi pergi lagi. Siang kembali, sore pergi lagi. Apa sekarang kau sudah punya dermaga lain untuk bersandar?”
“Tidak, Maga. Tidak.” Sang Kapal menggeleng kuat sampai membuat tiang-tiang yang menahannya menjadi goyang. “Tak terbesit sedikitpun di kepalaku untuk bersandar pada dermaga lain selain padamu. Engkaulah satu-satunya dermaga yang mampu menambatkan tubuhku dan hatiku, sayang.”
Sebulir air mata Dermaga berhasil jatuh melewati pipinya. Dermaga lalu menolehkan wajah, agar Kapal tak menemui bekas air matanya yang telah gagal ditahannya kali ini.
“Jangan menangis, Maga. Aku tak bisa melihatmu bersedih. Aku benar-benar minta maaf atas jadwalku yang sedikit padat belakangan ini. Aku akan menghadap ke kepala kapal untuk merevisi ulang jadwalku. Supaya aku bisa lebih lama berada di sini, bersamamu,” ucap sang Kapal sambil berharap Dermaga akan memercayainya kini.
Dermaga menolehkan kembali wajah manisnya ke arah si Kapal. Pandangannya sekarang menyorot lurus ke retina si Kapal—seakan ia sedang mencari kebenaran dalam matanya. “Apa kamu benar-benar berjanji sekarang?”
Kapal mengangguk mantap. Tak sadar kini bibirnyapun mengulas senyum tampan. Senyum yang konon selalu disukai oleh Dermaga. “Ya, aku berjanji. Dan sebagai permintaan maafku, bolehkah aku menghadiahimu ini?” tangan kiri si Kapal menyodorkan sesuatu dalam bungkusan biru pada Dermaga.
“Apa itu?” Dermaga menyipitkan matanya ke bungkusan biru yang tampak bulat panjang seperti lilin raksasa.
“Sesuatu yang akan membuat matamu terpana,” balas Kapal yang mengulas lagi senyum tampannya untuk kedua kali.
Dermaga lalu merobek bungkusan biru itu dengan hati-hati. Dan seketika saja wajahnya langsung membelalak—tak percaya.
“Ap.. apa.. ini kembang api?” tanya Dermaga dengan sedikit gemetar.
“Ya.” Kapal mengangguk singkat. Dan ia langsung membubuhi kembang api itu dengan sepercik api yang sedetik kemudian meledak di udara. Membentuk gambar-gambar indah di tengah kelamnya malam.
Dermaga sangat menyukai kembang api. Matanya hampir berair karena berusaha tak mengedip ketika salah satu letusan kembang api itu memecah menjadi gambar mawar yang indah. Ia lalu mendaratkan kecupan di bibir si Kapal yang membuat Kapal hampir terlonjak karena kesenangan. Mereka lalu tenggelam bersama riuhnya kembang api di sisa malam yang panjang.
T.S, 23 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H