“Annisa lihat, dia lucu sekali kan?” Anna menunjukan sang buah hati pada adiknya.
Annisa memandang bayi itu sejenak, “Iya, mirip sama mas Azzam mba,” balas Annisa, seketika itu juga wajahnya langsung merunduk.
“Oh iya, Nisa bantu mba ke ruangan mas Azzam ya? Mba ingin nunjukin bayi ini sama mas Azzam, walau mata mas Azzam tertutup tapi pasti mas Azzam bisa merasakan kehadirannya.”
“Jangan mba, lebih baik mba Anna istirahat dulu untuk memulihkan kondisi mba Anna,” sela Annisa.
“Cuma sebentar kok Nis, tolong mba ya? Lagi pula mba kan pakai kursi roda, nggak banyak mengeluarkan tenaga kan?” pinta Anna lagi.
Jika sudah begini tak ada alasan lagi bagi Annisa untuk menolaknya, akhirnya ia pun menyanggupi permintaan sang kakak.
——
“Kok ruangan mas Azzam ramai ya, Nis?” tanya Anna bingung, ia menoleh ke arah adiknya lalu kembali menelisik ke ruang rawat suaminya.
Annisa terdiam, ia tak sanggup mengatakan yang sebenarnya kalau kondisi suami kakaknya itu sedang kritis.
“Maaf bu, ibu jangan masuk dulu. Kondisi pasien di dalam sangat kritis. Dokter sedang berusaha mengembali-kan detak jantung pasien itu,” ucap seorang suster yang berjaga di depan pintu.
“Apa? Mas Azzam…” Anna seketika itu langsung jatuh lemas, mulutnya tak dapat berkata-kata lagi, air matanya membanjiri pipinya tanpa lagi bisa ia bendung, suara apapun terdengar senyap di telinganya, ia masih sadar tapi seperti terasa lumpuh, tak ada anggota tubuhnya yang mau bergerak.