“Bagaimana dok keadaan suami saya? Apa hari ini telah mengalami kemajuan?” tanya seorang wanita yang memandang teduh pria yang sedang terbaring diranjang rumah sakit itu.
“Maaf bu. Tapi suami ibu memang belum menampakkan tanda-tanda kemajuan. Kondisinya tetap sama seperti hari-hari kemarin,” balas sang Dokter setelah memeriksa keadaan pasiennya.
Wajah wanita itu tampak membisu sesaat. Ia bingung untuk mengatakan apa lagi atau lebih tepatnya tak sanggup berkata lagi. Jawaban sang Dokter tak pernah berbeda—itu saja—hingga ia lelah mendengarnya.
Sang dokter pun seakan mengerti perasaan wanita di hadapannya yang tengah mengandung itu. Ia sangat berhati-hati dalam memberi penjelasan, walau akhirnya hanya itu yang mampu ia ucapkan.
“Tenang bu! Kami akan mengusahakan yang terbaik untuk suami ibu.”
“Kami pun akan menambah stimulasinya bila dalam waktu dekat ini suami ibu sama sekali belum merespon. Tapi kami pun tidak tahu semua ini akan berhasil atau tidak. Mau tak mau saya katakan, ibu harus bisa menerima kemungkinan yang terburuk.”
Wanita itu mengangguk pelan tanpa berkata lagi. Satu lagi tetes air mata yang berhasil jatuh dari ujung pelipis matanya.
——
Anna kembali menatap wajah suaminya yang begitu damai. Tak terasa sudah empat bulan sang suami tertidur sangat lelap seperti ini. Entah akan bangun lagi atau akan tertidur selamanya, Anna pun tak tahu. Yang ia tahu, dirinya sangat berharap sang suami dapat kembali menemani hari-harinya seperti dulu.
Meski begitu, Anna selalu tabah menghadapi ujian berat ini. Ia tetap teguh menjalani hari-harinya dan juga tetap taat menjalankan kewajiban seorang istri pada suami. Walau kini suaminya tak dapat melakukan apa-apa lagi. Bahkan hanya sekedar bangun dari komanya, sang suami belum mampu.
Tak jarang juga wanita itu meneteskan air mata. Anna bukanlah malaikat. Ia pun sejatinya hanyalah wanita biasa yang juga menginginkan kehadiran seorang suami yang selalu bisa mendampinginya. Apalagi di saat dirinya tengah mengandung seperti ini. Tapi apa yang bisa ia perbuat? Keadaan yang memaksanya menjadi malaikat. Walaupun ia sadar, ia tak mampu.
Perlahan malam menanggalkan jubah hitamnya. Menyisakan gelap yang perlahan berubah menjadi biru tua, biru, lalu kuning keemasan. Dan pagi pun kembali membuka lembaran barunya dengan ceria. Awan bersorak. Angin meredam. Oksigen berlarian. Kuncup-kuncup bunga bermekaran. Mentari melompat dari singgasananya dan bersinar benderang. Oh, semuanya terlihat menakjubkan. Jagat raya menjadi saksi euforia pagi yang elok ini.
Begitu pun dengan Anna. Ia juga ikut tak mau ketinggalan untuk menjadi saksi euforia pagi yang meriah ini. Dirinya pun ikut meramaikan dengan melakukan senam kecil di depan teras rumahnya. Setelah dirasa cukup, ia menyodorkan diri untuk duduk di kursi panjang yang ada tepat di samping rumahnya.
Pemandangan bunga yang mulai ber-mekaran langsung memenuhi pelupuk matanya. Sarat akan keindahan. Itu yang membuat Anna betah duduk berlama-lama dikursi panjang ini walau tanpa melakukan aktivitas apapun.
Kini, dirinya pun hanya memandangi kuncup bunga flamboyan yang perlahan mulai membuka. Matanya lalu beralih ke arah embun yang menggelantung di ujung daun flamboyan itu. Lalu embun itu pun jatuh ke tanah karena terseret angin.
Entah kenapa kejadian alam itu menggelitik perasaan Anna. Ia pun mencari-cari sosok embun di balik dedaunan flamboyan yang lain. Dan ia kembali berhasil menemukannya.
Matanya lalu sibuk berkutat dengan embun itu. Hal itu terus diulangnya, hingga ia sadar tiada lagi embun yang tersisa karena mentari sudah menjulang sangat tinggi.
Anna jadi teringat saat beberapa bulan lalu. Saat suaminya masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Dulu, ia dan sang suami sangat sering melakukan senam kecil seperti yang ia lakukan tadi, sehabis shalat subuh berjamaah dengannya. Kemudian terduduk di kursi panjang ini.
Anna sangat menyukai bunga flamboyan, karena itu matanya tak pernah terlepas dari kelopak bunga cantik itu. Bahkan sang suami sering memanggilnya dengan sebutan gadis flamboyan. Anna tak menyangkal, ia bahkan lebih menyukai suaminya memanggil dirinya dengan gadis flamboyan daripada dengan nama aslinya.
Sedangkan sang suami lebih menyukai embun ketimbang bunga warna-warni itu. Ia lebih suka mengelilingi daun yang digelantungi embun. Bahkan tak jarang juga ia memotretnya untuk mengabadikan momen itu. Terkadang sang suami pun mengajak Anna untuk mencari sosok embun dan ikut memerhatikannya bersamanya.
Tapi, Anna kerap kali menolak. Ia lebih suka bersenang-senang dengan bunga flamboyannya ketimbang memerhatikan embun yang hanya begitu-begitu saja menurutnya. Sang suami pun tak patah arang, ia terus membujuk istrinya untuk dapat memerhatikan embun itu bersamanya.
Sampai suatu saat ia berhasil membujuk Anna, karena hari itu tepat ulang tahun pernikahan mereka. Mau tak mau Anna harus menuruti permintaan suaminya apapun itu.
Sang suami mengajak Anna ke padang ilalang pagi itu selesai melakukan senam. Tempat itu ternyata berada di dekat kompleks perumahannya tapi Anna tak pernah menyadari keberadaannya karena tertutup tembok beton yang mengelilingi sekitarnya.
Anna sangat senang, karena di tempat itu banyak bunga flamboyan yang tumbuh liar.
Warnanya beragam dan sangat elok, dari mulai ungu, merah, merah muda sampai putih. Anna bersorak hampir histeris. Ia meminta sang suami untuk mengabadikan momennya dengan bunga flamboyan dengan cara memotret menggunakan kamera digital. Berbagai pose diperagakan Anna di depan kamera itu. Tak jarang juga ia mengajak sang suami untuk unjuk diri bersamanya.
Setelah merasa puas, sang suami meminta Anna untuk mencari sosok embun yang dari awal diincar suaminya. Anna tampak sedikit ragu, tapi ia kembali mengingat janjinya untuk memenuhi keinginan suaminya di hari itu apapun juga. Ia menuruti.
Ternyata tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencari dedaunan yang masih digelantungi embun, karena sang mentari juga belum terlihat tampak.
Mereka akhirnya menemukan dedaunan yang dipenuhi titik-titik embun.
Sang suami meminta Anna untuk memerhatikan embun itu dengan seksama, dan juga meminta Anna untuk menyebutkan satu saja keistimewaan embun di antara ciptaan Allah lainnya.
Anna sempat bingung dan berpikir sejenak. Matanya tak benar-benar menatap dedaunan yang berembun itu. Setelah ragu, akhirnya ia angkat bicara, “Embun itu... hanya ada ketika pagi. Jadi menurutku, embun itu adalah pelita pagi.”
Sang suami menimbang-nimbang jawaban Anna sejenak. Tak dapat dielak, jawaban istrinya itu memang cukup masuk akal. Dan sang suami pun mengurai senyumnya. “Cukup bagus, ada yang lain?”
“Bukankah kau hanya meminta satu tadi, mas?” tanya Anna mengerutkan kening.
“Ya memang, tapi kalau kamu bisa menjawab yang lain, aku akan beri nilai tambah,” jawab sang Suami dengan wajah menggoda.
Anna melambaikan tangan—tanda menyerah. Ia mulai berpikir ini pertanyaan yang menjebak. “Kurasa kamu lebih tahu mas. Apa itu?”
“Baiklah kalau kamu meminta, aku akan menjelaskan.” Sang suami mengajak Anna untuk lebih dekat dengan embun yang menggelantung di ujung dedaunan— mungkin sebentar lagi akan terjatuh ke tanah.
“Embun itu memang pelita pagi. Tanpanya mungkin sosok pagi akan terasa hambar. Seiring datangnya malam, ternyata titik-titik embun mulai berjatuhan dari langit.”
“Titik-titik yang seolah buta kini mulai tak kasat di mata ketika pagi… Dan mungkin tak ada sesuatu yang sebening embun. Bahkan kita dapat melihat bayangan diri kita sendiri di embun.”
Sang suami terus mengoceh panjang lebar. Walaupun tampak kurang mengerti, Anna sangat menghargai penjelasan suaminya. Ia selalu mengurai senyum dan terkadang mengangguk kecil—tanda mengerti.
Anna tak sadar, sedari tadi air matanya menetes deras mengenang itu semua. Berharap, semuanya dapat terulang kembali, atau setidaknya ia dapat merasakan setitik kebahagiaan itu kembali.
Dengan Tuhan, tak ada yang mustahil. Walaupun semua dokter mengatakan suaminya sudah di ujung tanduk kematian, mungkin Tuhan masih berbaik hati dan memberi kejaiban pada suaminya. Dan semua harapannya tak lagi sekedar fatamorgana. Semuanya akan menjadi nyata.
——
Setelah menyudahi senam paginya, Anna beralih kembali ke teras depan. Ia membuka tirai penutupnya perlahan dan mulai menata barang dagangannya dengan teratur ke samping. Dari mulai barang sembako, makanan ringan, hingga masakan matang tersedia di warung sederhana ini.
Terkadang Anna pun menyediakan berbagai macam minuman dingin serta es campur di sini. Selain itu, ia juga menyambil dengan berjualan pulsa dan menerima pesanan kue jika memang ada.
Semua usaha ia lakoni demi menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk menyambung esok paginya.
Semenjak sang suami mengalami kecelakaan dahsyat yang mengakibatkan cedera otak yang serius itu, Anna yang kadang menggantikan posisi sang suami untuk mencari lembar demi lembar receh. Walau ia tahu usahanya ini tak seberapa, bahkan terkadang Anna pun sering menggunakan tabungan sang suami untuk keperluan mendadak, tapi setidaknya warung kecilnya ini dapat membantu perekonomian keluarga.
Terkadang Anna pun bermain dengan imajinasinya. Ia berandai suaminya ada di sini ikut mengulak sambal kacang bersamanya. Lalu sang suami beralih ke meja makan dan melahap habis sambal kacang itu dengan beberapa potong gorengan hingga memenuhi rongga mulutnya.
Anna tersenyum membayangkan itu semua. Namun tak lama, air matanya kembali berderai, ia teringat kejadian itu persis terjadi sesaat sebelum sang suami pergi ke kantor dan kecelakaan itu pun merenggut kesadaran suaminya sampai saat ini.
Tapi bagi Anna lebih dari itu, kecelakaan itu juga merenggut kebahagiaannya, pelita hidupnya, serta semangat hidupnya.
Anna mendesah pelan, lagi-lagi ini masalah takdir. Takdir yang mengharuskannya mencicipi rasa pahit ini. Entah akan berakhir kapan, ia pun tak tahu. Dirinya hanya yakin, dibalik rasa pahit ini pasti akan ada manis yang menanti.
Pasti akan ada.
——
Lorong rumah sakit itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa perawat dan petugas kebersihan yang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Meja pendaftaran pun masih tampak kosong. Hanya ada seorang petugas yang terlihat berjaga-jaga disekitar area itu.
“Eh, mba Anna. Tumben pagi sekali datangnya mba.” Sapa seorang perawat muda yang kebetulan berpapasan dengan Anna.
Senyum Anna merekah di bibir, wajah wanita itu tampak segar pagi ini. “Iya nih, Tik. Aku cuma nggak mau ketinggalan menikmati momen matahari terbit bersama suamiku.”
Perawat itu tampak memandang kagum pada sosok wanita di hadapannya, “Wah, mba Anna ini selain cantik dan sangat penyabar. Ternyata mba Anna juga romantis ya. Saya doakan mudah-mudahan mas Azzam cepat bangun dari komanya, supaya dapat melihat kembali wajah istrinya yang sangat mencintainya ini.”
Anna menelungkupkan tangannya mengamini do’a yang diucap perawat itu.
“Yasudah ya mba, Tika mau ke ruangan pasien dulu. Nanti kalau ada waktu Tika mau mengobrol banyak sama mba Anna. Mau cari tahu trik-trik menjadi istri yang sholehah, penyabar dan juga setia. He..he.”
“Saya sepenuhnya bukan sosok yang seperti kamu katakan tadi lho, Tik. Tapi kalau kamu mau ngobrol-ngobrol, insyaallah saya selalu ada waktu.”
“Yasudah duluan ya mba.” Perawat itu melambaikan tangan pada Anna dan berjalan pergi.
“Ya...”
Karena sudah hampir empat bulan Anna bolak-balik mengunjungi rumah sakit ini. Dirinya pun sudah dikenal oleh sebagian perawat, petugas kebersihan, satpam hingga penjaga kantin di sini.
Tak jarang juga ia mengobrol sejenak atau hanya bertegur sapa dengan mereka ketika bertemu. Salah satu orang yang sering menyapanya yaitu Tika. Seorang perawat muda yang masih berusia sekitar dua puluh limaan yang kebetulan juga pernah menangani suami Anna sewaktu pertama kali datang ke rumah sakit ini dengan kondisi berlumur luka.
Tika adalah perawat yang ramah, cepat tanggap dan mempunyai senyum yang menular. Sikapnya yang hangat itu membuat dirinya mudah dekat dengan keluarga pasien termasuk Anna.
Anna mengetuk kecil pintu ruang rawat sang suami. Karena tahu, suaminya tak mungkin membukakan pintu itu, ia pun langsung masuk dengan langkah pelan. Ia menatap wajah suaminya sejenak lalu mengecup lembut kening sang suami sambil membisikkan, “Selamat pagi Suamiku.”
Anna lalu beranjak untuk membuka jendela yang masih tertutup rapat. Setelah horden itu disibakkan, gumpalan awan putih dan suasana perkotaan yang hiruk pikuk langsung memenuhi pelupuk matanya.
Jakarta memang kota yang tak pernah tidur.
Walaupun sang surya masih mengintip malu-malu di balik awan, kota ini sudah sangat hidup. Berbagai aktivitas perniagaan sudah dimulai. Hari yang sejatinya masih gelap seakan tak butuh lagi lampu penerang. Angin yang riuh redam berteman dengan asap kendaraan, begitu pun dengan suara klakson yang mulai meraung-raung di tengah perempatan jalan.
Anna kembali mendekati suaminya. Ia mengambil kursi untuk duduk tepat di samping ranjang sang suami.
Matanya sibuk menekuri sebuah foto yang sedang digenggamnya erat. Bibirnya pun tak dapat menahan senyum setiap kali memerhatikan dari setiap jengkal foto tersebut. Ya! Itu adalah foto hasil USG calon buah hati pertamanya.
Air muka Anna tampak sangat bahagia. Ia benar-benar tak percaya, sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang ibu. Apalagi dengan prediksi dokter yang mengatakan bahwa jabang bayi yang tengah dikandungnya itu ternyata laki-laki, ia merasa dirinya sedang disetrum semangat baru 1000 volt—atau bahkan satu juta volt.
Anna pun membelai perutnya yang sudah terlihat besar itu. Dengan senyuman, ia mulai membagi kisahnya pada sang buah hati.
“Putra kecilku yang tampan, sedang apa kau di sana? Apa kau baik-baik saja?
“Ibu sangat merinduimu nak. Cepatlah temui ibu. Temani ibu. Bantu ibu untuk membisikkan pada ayahmu bahwa ibu sangat mencintainya.
“Bantu ibu untuk membisikkan padanya untuk segera sadar. Supaya dapat melihat tawamu dan memelukmu erat ke sisinya, dan kita akan ber.. ba..ha..gia ber..sa..ma un..tuk se..la..ma..nya,” ucap Anna pada makhluk kecil di dalam perutnya.
Kenyataannya terlalu menyakitkan. Lagi-lagi setetes air mata berhasil jatuh dari ujung pelipis matanya.
Pikirannya mulai menjangkau pada saat persalinannya kelak. Apa ia mampu berjuang sendirian ketika melahirkan nanti? Apa ia mampu melawan hidup dan mati itu seorang diri? Tanpa seorang suami yang menggenggam tangannya? Tanpa seorang suami yang menguatkannya?
Anna tampak ragu, tetes-tetes air mata itu menjadi jelas terlihat berderai di pipinya. Ia meyakinkan diri, dirinya pasti bisa melewati itu semua. Lagipula masih ada adik atau sahabatnya yang pasti akan mensupport dirinya, dan juga putra kecilnya. Sekali lagi Anna menegaskan diri, ia pasti mampu.
——
Akhirnya hari persalinan Anna pun tiba. Dokter memberitahu bahwa dirinya sudah pembukaan tujuh dan Anna pun diminta untuk tidak ke mana-mana karena mungkin sebentar lagi pembukaan akan lengkap yang artinya dirinya harus sudah siap untuk melahirkan. Tak ada rona cemas dari wajah wanita berjilbab itu, ia bahkan terlihat terlalu siap untuk melewati semua ini dengan baik, semua tekad telah ia miliki, ia yakin ia pasti mampu.
Kini Anna pun telah berganti dengan pakaian operasi, ia meminta pada suster untuk membawa keruang rawat suaminya yang kebetulan juga berada di rumah sakit yang sama dengannya.
Anna tak henti-hentinya menciumi tangan serta wajah sang suami, ia mengarahkan tangan sang suami untuk mengusap kepalanya yang berbalut jilbab hijau itu.
Setetes air mata jatuh sudah melewati pipinya—menyadari ia terlalu rindu akan belaian lembut dari tangan hangat suaminya.
Anna kembali menyapu lembut wajah sang suami, ia berbisik,
“Do’akan Anna ya mas, supaya Anna bisa melewati persalinan ini dengan baik. Anna yakin, walau mata mas Azzam tertutup rapat, dan bibir mas Azzam membungkam, tapi hati mas Azzam pasti tak akan diam, pasti mas Azzam selalu mengaliri do’a untuk Anna dan calon buah hati kita.
“Mas Azzam nggak perlu khawatir, Anna akan berjuang berjihad sekuat tenaga Anna untuk bayi kita. Tapi Anna harap, Mas Azzam juga harus berjuang melewati masa koma ini dan segera sadar. Karena Anna ingin, mas Azzamlah yang menyuarakan adzan di telinga kanan bayi kita yang insyaallah akan menjadi seorang imam juga.” Anna kembali mencium tangan sang suami dengan penuh rasa cintanya.
“Anna mencintai mas karena Allah.”
Deraian air mata membanjiri wajah Anna itu, bahkan suster yang menemaninya pun ikut meneteskan air mata karena terlalu terharu. Anna kemudian bangkit karena dokter ternyata sudah memintanya untuk masuk keruang persalinan.
——
Ternyata setelah Anna keluar dari ruang rawat sang suami. Salah seorang suster yang menunggui suaminya melapor ke dokter William kalau degup jantung pasien yang sedang koma itu mulai tak beraturan.
Anna tak sempat melihat sekawanan dokter yang membubungi ruang rawat suaminya, hanya Annisa sang adik yang memilih menyaksikan dokter-dokter yang berusaha menstabilkan detak jantung suami kakaknya itu.
Annisa tak henti-hentinya berdoa dalam hati supaya Tuhan berkenan menyelamatkan dua nyawa yang sangat berarti dihidupnya, suami kakaknya yang sedang kritis itu dan sang kakak yang sedang berjihad untuk melahirkan.
Ia tak bisa tenang, lafalan ayat-ayat suci terus menggetari bibir-bibirnya. Wajahnya makin cemas karena sudah satu jam dokter-dokter itu tak berhasil menstabilkan detak jantung suami sang kakak. Sedangkan Anna yang pinsan setelah melahirkan belum juga sadar.
Annisa kemudian berlari untuk melihat keadaan sang kakak, karena seorang suster memberitahunya bahwa kakaknya telah siuman.
——
Rona bahagia dari wajah Anna tak dapat disembunyikannya sama sekali. Ia benar-benar tak percaya di tangannya kini telah ada seorang bayi mungil yang sangat lucu. Dengan hati-hati tangannya menyisir wajah buah hatinya yang terasa selembut kapas.
Bibirnya berulang kali mengurai senyum bahagia yang ia yakini hanya akan muncul sekali seumur hidupnya.
Rasanya Anna ingin cepat-cepat menunjukan buah hatinya ini pada sang suami tercinta.
Belum sempat Anna melangkah, ternyata ada seorang yang mengetuk pintu.
“Mba Anna…” sahut Annisa langsung menghambur ke arah sang kakak.
“Annisa lihat, dia lucu sekali kan?” Anna menunjukan sang buah hati pada adiknya.
Annisa memandang bayi itu sejenak, “Iya, mirip sama mas Azzam mba,” balas Annisa, seketika itu juga wajahnya langsung merunduk.
“Oh iya, Nisa bantu mba ke ruangan mas Azzam ya? Mba ingin nunjukin bayi ini sama mas Azzam, walau mata mas Azzam tertutup tapi pasti mas Azzam bisa merasakan kehadirannya.”
“Jangan mba, lebih baik mba Anna istirahat dulu untuk memulihkan kondisi mba Anna,” sela Annisa.
“Cuma sebentar kok Nis, tolong mba ya? Lagi pula mba kan pakai kursi roda, nggak banyak mengeluarkan tenaga kan?” pinta Anna lagi.
Jika sudah begini tak ada alasan lagi bagi Annisa untuk menolaknya, akhirnya ia pun menyanggupi permintaan sang kakak.
——
“Kok ruangan mas Azzam ramai ya, Nis?” tanya Anna bingung, ia menoleh ke arah adiknya lalu kembali menelisik ke ruang rawat suaminya.
Annisa terdiam, ia tak sanggup mengatakan yang sebenarnya kalau kondisi suami kakaknya itu sedang kritis.
“Maaf bu, ibu jangan masuk dulu. Kondisi pasien di dalam sangat kritis. Dokter sedang berusaha mengembali-kan detak jantung pasien itu,” ucap seorang suster yang berjaga di depan pintu.
“Apa? Mas Azzam…” Anna seketika itu langsung jatuh lemas, mulutnya tak dapat berkata-kata lagi, air matanya membanjiri pipinya tanpa lagi bisa ia bendung, suara apapun terdengar senyap di telinganya, ia masih sadar tapi seperti terasa lumpuh, tak ada anggota tubuhnya yang mau bergerak.
“Mba, mba Anna, harus kuat ya. Mba Anna harus tabah,” seru Annisa sambil memeluk erat kakaknya yang seperti setengah sadar.
Akhirnya para dokter yang tadinya membubungi ruangan itu kini mulai keluar satu persatu dengan wajah lelah, sampai akhirnya hanya tersisa satu dokter di ruang itu.
Anna masuk diikuti dengan Annisa di belakang yang menggendong buah hatinya. Anna melirik ke arah papan monitor yang biasa menampilkan detak jantung sang suami, kini papan itu hanya tergambar satu garis lurus dan bunyi decitan yang tak henti-henti.
Anna tak sanggup lagi menahan, ia langsung mendekap erat tubuh sang suami yang bisa dijangkaunya. Air matanya kembali berderaian.
“Mas Azzam, mas nggak mungkin ninggalin Anna kan? Mas Azzam sudah berjanji akan bangun dan kembali bersama Anna dan bayi kita. Kau harus lihat mas, anak kita begitu lucu, ia juga tampan sepertimu. Bangunlah mas. Peluklah anak kita seperti janji yang kau ucap dulu. Peluklah,” ucap Anna, ia pun meraih bayinya dari tangan Annisa dan menidurkannya di dada sang suami sambil masih menangis.
Suasana menjadi hening seketika. Annisa membungkam kuat.
Dokter dan suster di ruangan itu pun melakukan hal yang sama. Menatap iba sambil menutup mulut rapat-rapat.
Keajaiban pun datang. Selang beberapa saat bayi itu berada di dada sang suami, Anna melihat papan monitor yang sejak tadi hanya bergaris lurus kini perlahan mulai bergerak. Dokter dan suster yang memperhatikan kejadian itu juga langsung terpana dengan keajaiban Tuhan yang mendatangi pasien mereka.
Begitu pun dengan Anna dan Annisa, mata mereka terasa dihipnotis oleh kejadian maha dahsyat itu. Terlebih dengan Anna yang matanya tak terlepas dari papan monitor yang menggambarkan detak jantung suaminya. Rona bahagia mulai menjalari seluruh tubuhnya.
Keajaiban pun seolah tak henti-hentinya ber-datangan, kini jemari tangan sang suami mulai bergerak pelan, area wajahnya pun tampak bergerak-gerak. Dan perlahan kelopak mata lelaki itu terbuka.
Anna tak hentinya berteriak mengucap syukur. Terlampau bahagia ia sampai bangun dari kursi rodanya dan memeluk tubuh sang suami serta menciumi wajahnya.
“Mas Azzam… Anna selalu percaya mas Azzam pasti akan sadar. Terima kasih ya Robb, terima kasih atas kuasaMu. Terimakasih atas perkenaanMu mengabulkan doa hamba, menyampaikan keajaibanmu di seutas do’a hamba.”
——
Akhirnya semuanya kembali seperti sedia kala. Suami istri itu kembali membangun istana surganya di dalam kehidupan yang sederhana bersama seorang bayi kecil yang kini diberi nama “Ibrahim”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H