——
Akhirnya hari persalinan Anna pun tiba. Dokter memberitahu bahwa dirinya sudah pembukaan tujuh dan Anna pun diminta untuk tidak ke mana-mana karena mungkin sebentar lagi pembukaan akan lengkap yang artinya dirinya harus sudah siap untuk melahirkan. Tak ada rona cemas dari wajah wanita berjilbab itu, ia bahkan terlihat terlalu siap untuk melewati semua ini dengan baik, semua tekad telah ia miliki, ia yakin ia pasti mampu.
Kini Anna pun telah berganti dengan pakaian operasi, ia meminta pada suster untuk membawa keruang rawat suaminya yang kebetulan juga berada di rumah sakit yang sama dengannya.
Anna tak henti-hentinya menciumi tangan serta wajah sang suami, ia mengarahkan tangan sang suami untuk mengusap kepalanya yang berbalut jilbab hijau itu.
Setetes air mata jatuh sudah melewati pipinya—menyadari ia terlalu rindu akan belaian lembut dari tangan hangat suaminya.
Anna kembali menyapu lembut wajah sang suami, ia berbisik,
“Do’akan Anna ya mas, supaya Anna bisa melewati persalinan ini dengan baik. Anna yakin, walau mata mas Azzam tertutup rapat, dan bibir mas Azzam membungkam, tapi hati mas Azzam pasti tak akan diam, pasti mas Azzam selalu mengaliri do’a untuk Anna dan calon buah hati kita.
“Mas Azzam nggak perlu khawatir, Anna akan berjuang berjihad sekuat tenaga Anna untuk bayi kita. Tapi Anna harap, Mas Azzam juga harus berjuang melewati masa koma ini dan segera sadar. Karena Anna ingin, mas Azzamlah yang menyuarakan adzan di telinga kanan bayi kita yang insyaallah akan menjadi seorang imam juga.” Anna kembali mencium tangan sang suami dengan penuh rasa cintanya.
“Anna mencintai mas karena Allah.”
Deraian air mata membanjiri wajah Anna itu, bahkan suster yang menemaninya pun ikut meneteskan air mata karena terlalu terharu. Anna kemudian bangkit karena dokter ternyata sudah memintanya untuk masuk keruang persalinan.
——