Anna menelungkupkan tangannya mengamini do’a yang diucap perawat itu.
“Yasudah ya mba, Tika mau ke ruangan pasien dulu. Nanti kalau ada waktu Tika mau mengobrol banyak sama mba Anna. Mau cari tahu trik-trik menjadi istri yang sholehah, penyabar dan juga setia. He..he.”
“Saya sepenuhnya bukan sosok yang seperti kamu katakan tadi lho, Tik. Tapi kalau kamu mau ngobrol-ngobrol, insyaallah saya selalu ada waktu.”
“Yasudah duluan ya mba.” Perawat itu melambaikan tangan pada Anna dan berjalan pergi.
“Ya...”
Karena sudah hampir empat bulan Anna bolak-balik mengunjungi rumah sakit ini. Dirinya pun sudah dikenal oleh sebagian perawat, petugas kebersihan, satpam hingga penjaga kantin di sini.
Tak jarang juga ia mengobrol sejenak atau hanya bertegur sapa dengan mereka ketika bertemu. Salah satu orang yang sering menyapanya yaitu Tika. Seorang perawat muda yang masih berusia sekitar dua puluh limaan yang kebetulan juga pernah menangani suami Anna sewaktu pertama kali datang ke rumah sakit ini dengan kondisi berlumur luka.
Tika adalah perawat yang ramah, cepat tanggap dan mempunyai senyum yang menular. Sikapnya yang hangat itu membuat dirinya mudah dekat dengan keluarga pasien termasuk Anna.
Anna mengetuk kecil pintu ruang rawat sang suami. Karena tahu, suaminya tak mungkin membukakan pintu itu, ia pun langsung masuk dengan langkah pelan. Ia menatap wajah suaminya sejenak lalu mengecup lembut kening sang suami sambil membisikkan, “Selamat pagi Suamiku.”
Anna lalu beranjak untuk membuka jendela yang masih tertutup rapat. Setelah horden itu disibakkan, gumpalan awan putih dan suasana perkotaan yang hiruk pikuk langsung memenuhi pelupuk matanya.
Jakarta memang kota yang tak pernah tidur.