Perlahan malam menanggalkan jubah hitamnya. Menyisakan gelap yang perlahan berubah menjadi biru tua, biru, lalu kuning keemasan. Dan pagi pun kembali membuka lembaran barunya dengan ceria. Awan bersorak. Angin meredam. Oksigen berlarian. Kuncup-kuncup bunga bermekaran. Mentari melompat dari singgasananya dan bersinar benderang. Oh, semuanya terlihat menakjubkan. Jagat raya menjadi saksi euforia pagi yang elok ini.
Begitu pun dengan Anna. Ia juga ikut tak mau ketinggalan untuk menjadi saksi euforia pagi yang meriah ini. Dirinya pun ikut meramaikan dengan melakukan senam kecil di depan teras rumahnya. Setelah dirasa cukup, ia menyodorkan diri untuk duduk di kursi panjang yang ada tepat di samping rumahnya.
Pemandangan bunga yang mulai ber-mekaran langsung memenuhi pelupuk matanya. Sarat akan keindahan. Itu yang membuat Anna betah duduk berlama-lama dikursi panjang ini walau tanpa melakukan aktivitas apapun.
Kini, dirinya pun hanya memandangi kuncup bunga flamboyan yang perlahan mulai membuka. Matanya lalu beralih ke arah embun yang menggelantung di ujung daun flamboyan itu. Lalu embun itu pun jatuh ke tanah karena terseret angin.
Entah kenapa kejadian alam itu menggelitik perasaan Anna. Ia pun mencari-cari sosok embun di balik dedaunan flamboyan yang lain. Dan ia kembali berhasil menemukannya.
Matanya lalu sibuk berkutat dengan embun itu. Hal itu terus diulangnya, hingga ia sadar tiada lagi embun yang tersisa karena mentari sudah menjulang sangat tinggi.
Anna jadi teringat saat beberapa bulan lalu. Saat suaminya masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Dulu, ia dan sang suami sangat sering melakukan senam kecil seperti yang ia lakukan tadi, sehabis shalat subuh berjamaah dengannya. Kemudian terduduk di kursi panjang ini.
Anna sangat menyukai bunga flamboyan, karena itu matanya tak pernah terlepas dari kelopak bunga cantik itu. Bahkan sang suami sering memanggilnya dengan sebutan gadis flamboyan. Anna tak menyangkal, ia bahkan lebih menyukai suaminya memanggil dirinya dengan gadis flamboyan daripada dengan nama aslinya.
Sedangkan sang suami lebih menyukai embun ketimbang bunga warna-warni itu. Ia lebih suka mengelilingi daun yang digelantungi embun. Bahkan tak jarang juga ia memotretnya untuk mengabadikan momen itu. Terkadang sang suami pun mengajak Anna untuk mencari sosok embun dan ikut memerhatikannya bersamanya.
Tapi, Anna kerap kali menolak. Ia lebih suka bersenang-senang dengan bunga flamboyannya ketimbang memerhatikan embun yang hanya begitu-begitu saja menurutnya. Sang suami pun tak patah arang, ia terus membujuk istrinya untuk dapat memerhatikan embun itu bersamanya.
Sampai suatu saat ia berhasil membujuk Anna, karena hari itu tepat ulang tahun pernikahan mereka. Mau tak mau Anna harus menuruti permintaan suaminya apapun itu.