Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nenek Tua di Sisi Kota

22 Juli 2016   13:56 Diperbarui: 22 Juli 2016   14:06 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaki kecilnya tak pernah berhenti melangkah menyusuri liku-liku jalan yang dipenuhi hiruk pikuk masyarakat kota. Tangan mungilnya yang mulai berurat dengan lihai menjajakan sebuah kue lupis, kue sederhana khas kota tempat kelahirannya, Yogyakarta. Walau usianya sudah semakin renta, dan langkahnya kadang tergopoh-gopoh nenek tua itu masih sangat semangat untuk mencari setitik ilahi guna menyambung esok pagi yang lebih baik.

Tak terasa matahari semakin beranjak meninggi. Bulir demi bulir keringatnya pun mulai berjatuhan dari dahinya yang bertatapan langsung dengan sorot surya, menandakan ion tubuhnya mulai menipis. Terkadang jika ia begitu merasa lelah seperti saat ini, ia selalu sempatkan diri untuk duduk sebentar di pinggir trotoar sambil menengguk beberapa tetes air mineral untuk mengobati dahaganya.

Seakan tak pernah mengenal kata lelah, nenek tua itu kembali memadukan langkahnya dalam keramaian kota, kembali membaurkan suaranya dalam bisingnya kendaraan yang berlalu lalang. Dengan senyum tulus, nenek tua itu menawarkan kuenya pada satu persatu orang yang ditemuinya. Berharap seseorang dapat menghampiri dan membeli kue yang sudah ia buat sejak pagi buta itu. Ada yang menyambut dengan baik, terkadang ada pula yang hanya mengejeknya lalu meninggalkan pergi.

Dan kini nenek itu berhadapan dengan segerombolan anak muda yang tampak habis pulang berbelanja. Dengan sedikit serak nenek tua itu pun menawarkan kuenya, “Mba, kue lupisnya cuma dua ribu”

Pemuda-pemuda itu tampak mengacuhkan keberadaan sang nenek, mereka tetap saja asik membicarakan produk kecantikan yang baru mereka beli. Sampai sang nenek tua itu menawarkan kuenya lagi, “Mba, boleh mba ku lupisnya. Enak lho mba, Cuma dua ribu”

Kini semua mata pemuda itu tertuju pada sang nenek. Pemuda berbaju kuning emas tampak tersenyum sinis pada nenek tua itu. sedangkan pemuda berbaju biru gelap menyorotkan pandangan menghujam sambil mengucapkan sumpah serapah yang ditambahi beberapa kalimat cacian oleh pemuda yang lain. Mereka beranggapan bahwa kue yang ditawari sang nenek hanyalah sebuah makanan kuno yang tidak cocok dengan lidah mereka.

Walaupun sang nenek sempat menyanggahnya dengan mengatakan bahwa kue yang dijualnya mempunyai rasa yang manis dan enak. Mereka tetap saja menolak. Pemuda-pemuda itu bersikukuh bahwa kue itu ialah kue kampung yang tidak mempunyai rasa selezat hotdog, pizza ataupun sandwich.

Meski begitu, sang nenek tua itu tetap berusaha ikhlas dan tegar, dan kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat lain.

Terkadang, ia pun tak habis pikir, mengapa anak muda zaman sekarang lebih menyukai makanan yang diadopsi dari negeri asing daripada makanan khas negerinya sendiri. Tampaknya memang benar, globalisasi sudah begitu parah menghujam negeri ini.

Setelah lama berjalan, kini teriakannya pun berbuah manis. Seorang gadis kecil bergaun merah, berlari-lari kecil menghampiri nenek tua itu sambil membawa selembar uang lima ribuan. “Nek, aku beli kuenya dua ya”

Nada bicaranya yang masih sedikit cempreng pun berhasil mengukir satu senyuman diwajah keriput sang nenek.

“Ini nduk” sahut sang nenek

Gadis kecil itu pun menggangguk dan langsung menyambar kue yang disodorkan sang nenek lalu memberi uang yang ia bawa tadi. Setelah memeroleh kembalian dari sang nenek, gadis kecil itu langsung menghambur ke arah ibunya yang sudah menunggu diseberang jalan. Nenek tua itu tersenyum kembali, teringat masa kecilnya dulu.

Detik jam terus berlalu. Hari semakin siang, tapi langit semakin mendung. Semilir angin pun mulai bertiup hilir mudik dengan kencang. Meriuhkan suasana jalan kota yang beradu dengan bisingnya mesin kendaraan.

Terkadang takdir memang tak searah dengan apa yang kita dambakan. Belum genap jam 12, hujan deras kembali mengguyur kota yang cukup padat penduduk ini. Kendaraan-kendaraan pribadi yang bertebaran sepanjang jalan pun seakan menambah riuh suara hujan yang kian deras. Jalanan pun semakin licin dan becek. Mau tak mau, sang nenek harus menghentikan aksinya dan berteduh ditepian pertokoan. Untungnya sebelum berangkat, ia sempat menyelipkan payung dikeranjang kuenya, jadi kini ia dapat pulang kerumahnya tanpa basah kuyub.

——

Sore pun datang menyambar. Nenek tua itu masih merenungi nasibnya untuk esok pagi. Kue yang tadi ia jual belum juga seberapa karena terpotong deras hujan yang mengguyur habis permukaan kota. Tapi, apa yang bisa ia perbuat. Semua itu sudah menjadi ketetapan Tuhan untuk mengatur segala sesuatunya. Meski begitu, ia harus tetap berusaha tersenyum karena sebentar lagi anak-anak akan mendatangi rumahnya untuk belajar menari.

Ya! Rumah bambunya yang sederhana ini disulap sedemikian rupa hingga terlihat menjadi sanggar tari. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk menantang arus globalisasi, selain mempertahankan adat tradisional yaitu salah satunya dengan tarian ini, tari cokek betawi yang mungkin hanya terkenal disegelintir lapisan masyarakat betawi seperti dirinya.

Dengan lihai sang nenek mengajarkan gerakan-gerakan dalam tarian itu yang diikuti dengan anak muridnya. Nenek tua itu tersenyum cerah, tatkala melihat murid-muridnya begitu bersemangat dalam belajar menari. Ia berharap, murid-muridnya kelak akan menjadi penari yang hebat. Serta mampu mewariskan tari ini ke anak cucu mereka sekaligus menjaga asset bangsa agar tidak tertelan oleh arus globalisasi.

Tak terasa langit pun menghitam. Matahari yang menjingga digaris batas cakrawala senja berganti dengan eloknya petang yang damai. Suara-suara panggilan ibadah mulai bersahut-sahutan memenuhi isi perut bumi.

Sang nenek pun langsung bergegas membasuh tubuhnya dengan air wudhu lalu mengangkat kedua tangannya untuk memulai takbiratul ikhram. Suara lantunan ayat-ayat suci pun menjadi penghias malam temaramnya. Setidaknya rumah bambu yang ia tempati itu akan menjadi lebih hidup karena lantunan ayat Tuhan itu.

——

Hari ini sang nenek menghadiri penampilan salah satu anak muridnya di audisi tari tingkat kota. Hatinya sangat berbungah, akhirnya muridnya pun mampu menunjukan bakat tariannya dihadapan orang banyak. Mata nenek tua itu tak terlepas dari Sofia, anak muridnya. Sang nenek benar-benar memerhatikan dengan detail gerakan yang dilepaskan Sofia. Diakhir penampilannya, Sofia melirik ke arah sang nenek lalu tersenyum.

Begitupun dengan sang nenek yang juga tersenyum dan bertepuk tangan paling kencang distadion itu. nenek tua itu memang sangat menyayangi murid-muridnya, bahkan jika ada muridnya yang mengikuti kontes tari seperti sofia ini, ia rela untuk tidak bekerja seharian demi menemani anak muridnya hingga kontes selesai. Tak heran, jika anak muridnya pun memberi respon yang baik padanya.

Diakhir audisi, juri mengumumkan bahwa Sofia meraih juara perama dan terfavorit. Bahkan Sofia mengalahkan penari modern. Semuanya bersorak untuk Sofia, tak terkecuali dengan si nenek. Ternyata tari tradisional masih mampu mengungguli atas tari modern. Setelah menerima tropi dan piagam penghargaan, Sofia langsung menghambur ke arah sang Nenek dan memeluknya erat sambil mengatakan “Aku sayang Nenek.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun