“Hahaha, santai Bro! Aku selalu belajar untuk hati-hati. Mattew, kesini sebentar, ada kabar yang hendak aku ceritakan.”
Aku dan Mattew terus duduk berhadapan dengan Bernard. Ia kemudian memulai kabar baik yang dikatakannya itu.
“Aku baru saja mengelilingi kampung ini. Seperti yang kalian tahu, penduduk yang tersisa hanyalah mereka yang kebagian tugas sebagai aparat pemerintah desa. Kalian tahu kan, sebagian besar Kepala Keluarga disini sudah pergi ke kota, mencari penghidupan yang menurut mereka lebih layak. Barusan saja, rombongan terakhir yang pergi adalah keluarga pemerintah desa. Semalam aku mendengar rapat mereka, mereka sudah bulat memutuskan akan keluar dari kampung ini. Artinya apa, kampung ini akan jadi wilayah tak bertuan, tak bermanusia. Dan itu juga berarti tersedia banyak rumah kosong yang bisa kita tempati untuk membangun sarang kita sesuka hati tanpa ancaman bukan?,”
“Apakah rombongan manusia itu akan lebih bahagia dengan meninggalkan kampungnya, rumah dimana mereka lahir dan besar?,” tanyaku untuk memastikan bahwa mereka tidak akan pernah kembali.
“Sejujurnya aku sangsi di kota mereka hidup lebih layak. Manusia-manusia yang pergi itu hanya kehilangan daya survive dan kapasitas menjalani proses berkehidupan. Jadi perpindahan ke kota itu bentuk pelarian diri dari kelemahan mereka. Di sini mereka punya ladang yang bisa digarap untuk kebutuhan makan harian. Juga bisa berternak. Mereka hanya tidak mau hidup bekerja dengan apa yang mereka miliki dan memilih menjual tenaga kerjanya kepada tuan-tuan perkebunan dan toko.”
“Atau... Bernard, mungkin mereka mengejar mimpi khas kota yang terlanjur terbeli itu?,” tanya Mattew. Kritis juga rupanya si Mattew, tidak seperti aku yang naif.
“Bisa saja Mattew, bisa jadi begitu. Mereka mengejar mimpi yang tidak pernah bisa mereka beli. Mereka tidak menghargai hidupnya sendiri. Tidak menyukuri anugerah akal pikiran yang telah membuat mereka lebih pantas menjadi penjaga kehidupan dibanding kita. Tapi dengan kondisi begini, kau bisa melihat Mattew, manusia telah membuat dirinya lebih rendah dari kita, binatang kecil yang terus saja survive dengan naluri dan peralatan instingtif yang sudah terberi ini.”
“Haruskah kita berbahagia Bernard?,” tanyaku. Entah naif entah tidak.
“Pertanyaanmu sulit dijawab Jhon. Aku tidak tahu, bagaimana memahami bahagia dalam situasi seperti ini. Di satu sisi, kita sebagai laba-laba tentu menemukan lokasi yang ideal pada rumah-rumah kosong untuk membangun sarang dan mengumpulkan makanan. Tapi di sisi lain, aku juga melihat narasi sedih dalam rombongan manusia yang memilih hidup berkumpul serupa ayam dalam kandang hanya demi membagi kemiskinannya. Mereka bahkan lebih tidak bernyali dari kita, makluk yang hanya dengan sekali ayunan sapu lidi, terus menemui kematian.”
Aku, Mattew, dan Bernard lalu diam saja. Dialog kami, tiga laba-laba kini menggantung tanya yang besar : mengapa manusia mudah menggadaikan mimpinya pada kehidupan kota?
***