Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Wajah-wajah Menunggu di Sepanjang Perjalanan KRL

14 Januari 2025   09:18 Diperbarui: 14 Januari 2025   18:00 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang KRL Commuterline yang telah tiba di Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Jumat (1/3/2024) sekitar pukul 21.45 WIB. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Kemarin siang, saya ke Pasar Minggu dari Bogor. Naik Kereta Rel Listrik. 

Sebagai stasiun pertama keberangkatan, tentu saja gerbong terlihat sepi. Kondisi yang mengkonfirmasi bawah saat-saat sekarang ini bukanlah waktunya orang-orang berangkat kerja atau bergegas pulang. Walau saya tahu, tetap saja tidak bakal mendapat tempat duduk. 

Nyaris dua minggu saya (berusaha) menikmati lagi perjalanan seperti ini. Seperti hidup kebanyakan pekerja pinggiran megapolitan, yang pagi-pagi bergerak ke Jakarta, sore hari bergerak balik ke pinggiran. Berdesak-desak di dalam gerbong dengan hape di tangan, headset di telinga. Beberapa lagi terkantuk-kantuk. 

Di dalam gerbong sesak KRL, semua orang seolah-olah serombongan manekin belaka, tak bersuara dan tak pula bergerak.

Saya suka sekali berdiri di pinggir pintu masuk gerbong. Ini artinya saya akan membelakangi penumpang yang lain. Dengan begitu, saya memiliki sedikit keleluasaan melihat setiap stasiun yang disinggahi. Melihat penumpang yang mengantre masuk. 

Atau melihat jalanan yang dibelah rel dan laju kereta, bangunan-bangunan besar, bangunan dari tripleks seadanya, hingga wajah pengemudi roda dua di penghentian lampu merah. Wajah-wajah yang disuruh menunggu.

Menunggu kereta melintas, menunggu kereta tiba, menunggu kereta sampai di tujuan. 

Antrian Penumpang KRL | Tempo/Fakhri Hermansyah 
Antrian Penumpang KRL | Tempo/Fakhri Hermansyah 

Achievement Society dan Laku Asketisme Dalam Dunia
Menunggu dalam hiruk pikuk ruang urban bukanlah perkara yang mudah dikelola. Terutama bagi mereka yang bergegas dengan isi kepala dipenuhi target, menunggu adalah kegiatan yang menyiksa.

Menunggu bisa merusak irama yang cepat atau siklus yang konstan dari keberlangsungan tatanan tertentu. Apalagi jika menunggu dikonsepkan kedalam kegiatan produksi ekonomi. Menunggu dalam ruang semacam ini adalah gangguan terhadap waktu produktif.

Sebab itu, dalam logika yang sejenis, menunggu bukanlah bagian yang menempel pada jiwa yang muda. Sebaliknya, jiwa muda adalah mereka yang mengambil inisiatif, bergerak lebih cepat, selalu berada di barisan terdepan. 

Menunggu memang tak cocok bagi masyarakat yang menganut prinsip pencapaian sukses adalah segalanya; Achievement Society.

Dalam masyarakat seperti ini, pikiran dan tubuh diorientasikan pada pencapaian yang mewakili keunggulan dalam strata sosial. Bekerja keras untuk gaji yang besar, karir yang bagus, rumah yang bagus dan nyaman.

Tapi tak cuma pada relasi kerja dan mobilitas sosial. Di dalam Achievement Society, tubuh yang rutin perawatan, ke salon atau ke gym, juga adalah pencapaian. Belajar yang giat, sekolah di kampus-kampus ternama, juga adalah pencapaian. 

Intinya, dalam Achievement Society, disiplin dan kerja keras berkelindan dengan status simbolik tertentu. 

Status simbolik yang berkelindan pula dengan perkembangan mesin-mesin hasrat (desiring machine) serta realitas digital dimana kecepatan, peniruan, dan pendisiplinan baru diproduksi dengan cara yang sudah meninggalkan cara kerja manusia.

Sepintas, subyek yang bekerja keras dan disiplin berdampingan rapat dengan subyek dalam perburuan kenikmatan.

Motivasi bekerja yang seperti ini telah meninggalkan model kerja yang mula-mula muncul dalam masyarakat modern di Eropa. Kalau kita percaya pada Max Weber, kerja yang dimaksud adalah bagian dari panggilan spiritualitas. Kerja memiliki kaitan rapat dengan laku asketisme-dalam-dunia (inner-worldly asceticism).

Sebab itu, kerja adalah bagian dari jalan keselamatan manusia di dalam dunia. Kerja, konsekuensi, dan dampaknya adalah bagian dari cara manusia menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi fana, kira-kira begitu. 

Weber percaya, yang semacam ini, adalah fondasi dari kelahiran modernitas dan kemajuan teknologi. 

Menjadi sedikit terang, dengan fondasi sosiologi perubahan yang semacam ini, Achievement Society adalah konsekuensi yang niscaya dari keterpatahan teori Weber perihal kerja. 

Menunggu dan Wajah Pinggiran
Setelah tahun-tahun yang runyam di sepanjang 2008-2011, kembali ke Jakarta di tahun 2025 seperti mengunjungi labirin kelam dari kenangan.

Ingatan akan labirin kelam ini bukan saja mengantar pikiran pada gang-gang sempit di sekitar Lapangan Ros, rumah sesak, pengojek, warteg hingga penjaja gorengan. Ingatan itu terutama pada rencana atau impian yang berantakan. 

Dalam bahasa yang subyektif, saya dengan suka cita menyatakan diri sebagai bagian langsung dari (keter)pinggiran yang nyata, dan kalah. Tidak sepenuhnya berantakan, memang. 

Setidaknya sesudah mengalami Jakarta yang memberantakan, saya jadi lebih tahu mengelola nalar dan naluri survive keterpinggiran. Kini, saya kembali lagi dengan kesiapan diri yang jauh lebih baik. 

Jakarta tetap akan menjadi ruang dari realisasi rencana-rencana. Namun, saya membuang satu motif yang berbahaya seperti di tahun 2008: ke sini adalah sebuah pencapaian, pertanda sedang naik kelas.

Jakarta bukan ruang untuk penaklukan. Jakarta mudah melelahkan dengan cara memahami yang seperti itu. Jakarta terlalu rentan menjadi putus asa atau ketidakpedulian jika penaklukan menjadi api penggeraknya. 

Ada romansa getir yang sudah didendangkan Koes Plus bertahun-tahun lalu tentang Kembali ke Jakarta. 

Bagi yang kembali seperti saya, romansa ini lebih mirip pengingat bagi orang-orang yang terlempar dari akar, kalah, dan tidak punya alasan lain untuk melanjutkan hidup kecuali kembali. Periksa saja bait pertamanya:

Di sana rumahku
Dalam kabut biru
Hatiku sedih
Di hari minggu
Di sana kasihku
Berdiri menunggu
Di batas waktu
Yang telah tertentu

Nasib yang semacam ini membuat Jakarta terlihat sebagai ruang bagi tragedi sekaligus yang menyediakan kesembuhannya. Seolah-olah luka hanya sembuh oleh pisau yang menyakitinya. Lihatlah bait keduanya:

Pernah kualami
Hidupku sendiri
Temanku pergi
Dan menjauhi
Lama kumenanti
Ku harus mencari
Atau ku tiada
Dikenal lagi

Dari wajah-wajah yang menunggu dalam keterpinggirannya, saya tahu, Jakarta dalam kesenduan Koes Plus adalah kemungkinan belaka. Sebuah etape yang harus diselesaikan. 

Menunggu sepintas bermakna cuma bagi mereka yang sudah tua, pensiunan, kebanyakan diam-tak bekerja dari rumah. Mereka yang tidak lagi produktif. 

Namun dalam etape yang panjang, menunggu adalah siasat. Ia bisa menjadi cara yang tak disangka, mungkin juga tak diniatkan seperti kerja dalam asketisme, yaitu untuk menyelamatkan. 

Cipete, tengah Januari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun