Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Wajah-wajah Menunggu di Sepanjang Perjalanan KRL

14 Januari 2025   09:18 Diperbarui: 14 Januari 2025   18:00 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang KRL Commuterline yang telah tiba di Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Jumat (1/3/2024) sekitar pukul 21.45 WIB. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Menunggu dan Wajah Pinggiran
Setelah tahun-tahun yang runyam di sepanjang 2008-2011, kembali ke Jakarta di tahun 2025 seperti mengunjungi labirin kelam dari kenangan.

Ingatan akan labirin kelam ini bukan saja mengantar pikiran pada gang-gang sempit di sekitar Lapangan Ros, rumah sesak, pengojek, warteg hingga penjaja gorengan. Ingatan itu terutama pada rencana atau impian yang berantakan. 

Dalam bahasa yang subyektif, saya dengan suka cita menyatakan diri sebagai bagian langsung dari (keter)pinggiran yang nyata, dan kalah. Tidak sepenuhnya berantakan, memang. 

Setidaknya sesudah mengalami Jakarta yang memberantakan, saya jadi lebih tahu mengelola nalar dan naluri survive keterpinggiran. Kini, saya kembali lagi dengan kesiapan diri yang jauh lebih baik. 

Jakarta tetap akan menjadi ruang dari realisasi rencana-rencana. Namun, saya membuang satu motif yang berbahaya seperti di tahun 2008: ke sini adalah sebuah pencapaian, pertanda sedang naik kelas.

Jakarta bukan ruang untuk penaklukan. Jakarta mudah melelahkan dengan cara memahami yang seperti itu. Jakarta terlalu rentan menjadi putus asa atau ketidakpedulian jika penaklukan menjadi api penggeraknya. 

Ada romansa getir yang sudah didendangkan Koes Plus bertahun-tahun lalu tentang Kembali ke Jakarta. 

Bagi yang kembali seperti saya, romansa ini lebih mirip pengingat bagi orang-orang yang terlempar dari akar, kalah, dan tidak punya alasan lain untuk melanjutkan hidup kecuali kembali. Periksa saja bait pertamanya:

Di sana rumahku
Dalam kabut biru
Hatiku sedih
Di hari minggu
Di sana kasihku
Berdiri menunggu
Di batas waktu
Yang telah tertentu

Nasib yang semacam ini membuat Jakarta terlihat sebagai ruang bagi tragedi sekaligus yang menyediakan kesembuhannya. Seolah-olah luka hanya sembuh oleh pisau yang menyakitinya. Lihatlah bait keduanya:

Pernah kualami
Hidupku sendiri
Temanku pergi
Dan menjauhi
Lama kumenanti
Ku harus mencari
Atau ku tiada
Dikenal lagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun