Menunggu dan Wajah Pinggiran
Setelah tahun-tahun yang runyam di sepanjang 2008-2011, kembali ke Jakarta di tahun 2025 seperti mengunjungi labirin kelam dari kenangan.
Ingatan akan labirin kelam ini bukan saja mengantar pikiran pada gang-gang sempit di sekitar Lapangan Ros, rumah sesak, pengojek, warteg hingga penjaja gorengan. Ingatan itu terutama pada rencana atau impian yang berantakan.Â
Dalam bahasa yang subyektif, saya dengan suka cita menyatakan diri sebagai bagian langsung dari (keter)pinggiran yang nyata, dan kalah. Tidak sepenuhnya berantakan, memang.Â
Setidaknya sesudah mengalami Jakarta yang memberantakan, saya jadi lebih tahu mengelola nalar dan naluri survive keterpinggiran. Kini, saya kembali lagi dengan kesiapan diri yang jauh lebih baik.Â
Jakarta tetap akan menjadi ruang dari realisasi rencana-rencana. Namun, saya membuang satu motif yang berbahaya seperti di tahun 2008: ke sini adalah sebuah pencapaian, pertanda sedang naik kelas.
Jakarta bukan ruang untuk penaklukan. Jakarta mudah melelahkan dengan cara memahami yang seperti itu. Jakarta terlalu rentan menjadi putus asa atau ketidakpedulian jika penaklukan menjadi api penggeraknya.Â
Ada romansa getir yang sudah didendangkan Koes Plus bertahun-tahun lalu tentang Kembali ke Jakarta.Â
Bagi yang kembali seperti saya, romansa ini lebih mirip pengingat bagi orang-orang yang terlempar dari akar, kalah, dan tidak punya alasan lain untuk melanjutkan hidup kecuali kembali. Periksa saja bait pertamanya:
Di sana rumahku
Dalam kabut biru
Hatiku sedih
Di hari minggu
Di sana kasihku
Berdiri menunggu
Di batas waktu
Yang telah tertentu
Nasib yang semacam ini membuat Jakarta terlihat sebagai ruang bagi tragedi sekaligus yang menyediakan kesembuhannya. Seolah-olah luka hanya sembuh oleh pisau yang menyakitinya. Lihatlah bait keduanya:
Pernah kualami
Hidupku sendiri
Temanku pergi
Dan menjauhi
Lama kumenanti
Ku harus mencari
Atau ku tiada
Dikenal lagi