Sebab itu, dalam logika yang sejenis, menunggu bukanlah bagian yang menempel pada jiwa yang muda. Sebaliknya, jiwa muda adalah mereka yang mengambil inisiatif, bergerak lebih cepat, selalu berada di barisan terdepan.Â
Menunggu memang tak cocok bagi masyarakat yang menganut prinsip pencapaian sukses adalah segalanya; Achievement Society.
Dalam masyarakat seperti ini, pikiran dan tubuh diorientasikan pada pencapaian yang mewakili keunggulan dalam strata sosial. Bekerja keras untuk gaji yang besar, karir yang bagus, rumah yang bagus dan nyaman.
Tapi tak cuma pada relasi kerja dan mobilitas sosial. Di dalam Achievement Society, tubuh yang rutin perawatan, ke salon atau ke gym, juga adalah pencapaian. Belajar yang giat, sekolah di kampus-kampus ternama, juga adalah pencapaian.Â
Intinya, dalam Achievement Society, disiplin dan kerja keras berkelindan dengan status simbolik tertentu.Â
Status simbolik yang berkelindan pula dengan perkembangan mesin-mesin hasrat (desiring machine) serta realitas digital dimana kecepatan, peniruan, dan pendisiplinan baru diproduksi dengan cara yang sudah meninggalkan cara kerja manusia.
Sepintas, subyek yang bekerja keras dan disiplin berdampingan rapat dengan subyek dalam perburuan kenikmatan.
Motivasi bekerja yang seperti ini telah meninggalkan model kerja yang mula-mula muncul dalam masyarakat modern di Eropa. Kalau kita percaya pada Max Weber, kerja yang dimaksud adalah bagian dari panggilan spiritualitas. Kerja memiliki kaitan rapat dengan laku asketisme-dalam-dunia (inner-worldly asceticism).
Sebab itu, kerja adalah bagian dari jalan keselamatan manusia di dalam dunia. Kerja, konsekuensi, dan dampaknya adalah bagian dari cara manusia menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi fana, kira-kira begitu.Â
Weber percaya, yang semacam ini, adalah fondasi dari kelahiran modernitas dan kemajuan teknologi.Â
Menjadi sedikit terang, dengan fondasi sosiologi perubahan yang semacam ini, Achievement Society adalah konsekuensi yang niscaya dari keterpatahan teori Weber perihal kerja.Â