Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Arabika di Bibir Pagi

22 November 2024   08:27 Diperbarui: 22 November 2024   08:45 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Secangkir Kopi dan Ubi Cilembu | Dokumentasi S Aji

Di hari Arabika menyentuh bibirku, lalu menghisap segala yang hampa di kerongkongan, seorang perempuan berdiri di jendela. Mengikuti ke jejak-jejak hujan yang rusuh sejak kemarin senja.

Terlalu pagi?
Tidak, ini terlalu palsu.

Perempuan itu baru kembali dari krisis panjang yang nyaris mengambil semua yang dia percaya. Aku sungguh cemas, ini bakal menjadikannya bengis.

Tapi tidak ada yang memulai bicara, setidaknya mengungkap keinginan masing-masing walau dalam bahasa samar---seperti puisi yang minta diperhatikan tapi ditulis dengan susunan aksara yang membingungkan; seperti perempuan?

Tiba-tiba nafasnya memburu. Dan sesak. Masih ada kemarahan bertumpuk dan belum habis terbakar, rupanya.

Aku meneguk lagi Arabika. Terima kasih, masih sabar di masa-masa sinting seperti begini.

Perempuan itu, perempuan yang meyakini segalanya baik-baik saja. Tidak ada yang berdiri di luar kendalinya. Kini---seperti yang selalu kucemaskan---dia berbakat membakar apa saja, tanpa terkecuali.

Tubuhnya gemetar hebat---"Keparaat, sampah semua!!"
Seteguk lagi, sedikit saja pahit Arabika, bisa mengembalikan waras.

Hujan di depan jendela sedang membawa udara yang lebih tenang. Perempuan itu menghirupnya dalam sekali, seolah-olah ada gua besar yang pengap di dalam hatinya.

Di ujung udara yang dia buang dari bibirnya, aku ingin bilang begini, di titik didih kemarahan, selalu ada banyak pikiran jahat untuk membalas, tapi kutahan. Dendam.

Perempuan itu menyedot lagi udara dingin, dalam dan dalam sekali ke dadanya. Aku meneguk lagi Arabika terakhir di cangkir kaleng. Hujan sudah berhenti tapi matahari tidak ke sini.

Perempuan itu ke sebuah kamar yang berantakan. Ia menatap dalam ke cermin besar. Melihat diriku meringkuk di sana: kelelahan, marah, tapi masih berdiam diri.

Kita masih bisa, selalu bisa, bukan?

Perempuan itu tidak bicara. Aku berharap secangkir Arabika dan aroma hujan yang memenuhi dadanya membuat semua ini berhenti. Setidaknya, ia hanya akan pergi ke jendela dan menemani meneguk lagi Arabika. 

Seperti sebulan terakhir ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun