Kita melihat Goenawan Mohamad menangis, setidaknya dua kali---di Rosi, dan di Mahkamah Konstitusi.
Ia patah hati, mungkin paling pedih sepanjang pergulatan (politik) dari Orde Lama hingga hari-hari ketika ia telah menjadi sesepuh bangsa. Seolah-olah, dari masa lalu hingga hari ini, politik tampaknya tak pernah pergi dari pabrikasi pesimisme.
Mengapa jadi senelangsa begini? Apa yang tidak dia waspadai dari tiga zaman, siklus kekuasaan dan manusia?
Jujur saja, kita tak yakin terlatih menghindari. Walau sudah enggan berintim-intim pada politik-pikiran-praktis, terutama demi pemujaan berlebih.Â
Namun, rasa-rasanya, yang paling niat dari itu semua, kejelataan kita yang rapuh ini tampaknya telah pula tiba pada kebosanan yang membakar dirinya sendiri.
Dari ketinggian istana sampai gang kecil yang setiap waktu mengabadikan sepi, kekuasaan hanyalah rumah cermin:Â semua yang ada di dalamnya tak melihat yang bukan dirinya. Mencari bangsa di sini adalah sejenis kesia-siaan!
Lalu kemarin hari, atau persisnya 3 hari sebelum kemarin ada sebuah rekaman. Semacam jawaban mengapa dan demi siapa, Si Maarten Paes memilih negeri ini.
Di wawancara itu, kiper 190 centi ini menghidupkan sentimentalisme. Mengapa manusia ada ingin membahagiakan yang sudah tiada.Â
Maka Indonesia bagi Paes, mula-mula mungkin bukanlah bangsa. Tapi kasih sang nenek, yang pernah hidup di Kediri.
Adakah kau berpikir? Beginilah cara masa lalu berterimakasih.Â
Dan, sepak bola menampung alirannya dari cabang-cabang Indonesia yang tak lagi cukup sebagai Sabang-Merauke, Miangas-Pulau Rote.
Maksudku, Seperti Jatuh Cinta di Film-film, trauma lampau tidak boleh membuat hari ini pantas berakhir payah. Sekalipun kita percaya, tidak semua akan baik-baik saja--kita tidak di surga.
Sebab ini jualah, mari tengok satu peristiwa. Cermati barang sebentar lagi.
Jay Idzes, namanya, seorang yang memilih jalan seperti Paes. Berjanjilah dia di hadapan ribuan manusia, "Kami bermain untuk kalian. Kami bermain untuk membuat kalian bangga."
Kata-kata ini, sungguh sangar, tajam & menancap dalam. Mungkinkah Idzes adalah suara terjujur hati kita sendiri bagi orang-orang yang ingin kita bahagiakan setiap hari?
Manusia dikutuk membuat bangga dengan segala rupa ketidakmungkinannya. Namun justru karena ironi semacam ini, manusia tidak akan menjadi malaikat. Manusia adalah dia dengan cinta yang paling bekerja keras dalam kefanaannya.
Dan, hidup juga bukan pengulangan nasib Icarus, bahkan ketika kamu kehilangan ambisi.
Lagi pula, di hari-hari yang tak selalu bisa dimengerti dengan melihat terus ke belakang, ada puisi yang kamu baca atau senandung yang kamu putar berkali-kali.Â
Celakanya, seringkali, hatimu tetap saja kacau.
Kamu merasa diwakili, tapi tidak boleh sebagai drama berseri. Nasib hanyalah lanskap terbuka bagi macam-macam benturan, tak cuma perjumpaan.
Tidak ada resep yang tunggal, termasuk ketika kamu telah pula sepuh, hidup melewati tiga zaman, dan politik masih saja seperti bertahun-tahun yang di belakang sana.Â
Yang membuat Goenawan Mohamad bersedih dua kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H