Maka beredarlah mitos yang populer jika korban-korban tanpa kepala, beberapa bertato yang mengingatkan pada kisah penembakan misterius di zaman Orde Baru, adalah tumbal dari kemarahan Ambong.Â
Dalam versi yang lebih tua, penonton bisa merasakan bahwa korban tanpa kepala adalah pertanda (kembalinya) ritus Ngayau masyarakat Dayak--walau kaitan ini tak cukup dimunculkan Kabut Berduri.Â
Secara umum, Ngayau adalah ritus perburuan kepala manusia (headhunter) yang digunakan untuk upacara adat. Kepala manusia diyakini sebagai simbol dari kekuatan supranatural dalam kepercayaan purba orang Dayak. Ritus ini sudah lama punah.
Sampai di sini, kita bisa melihat jika Kabut Biru adalah drama kriminal yang ceritanya berkembang dari pencampuran yang kompleks.Â
Sumbunya adalah kemarahan orang-orang lokal yang kalah di pinggiran perkebunan, berhadapan dengan kejahatan perdagangan orang yang melibatkan aparatur kepolisian serta jejaring cukongnya.Â
Sebagai aksi pembalasan dendam, kemarahan tersebut mengeksploitasi mitologi populer tentang Ambong, terutama spirit dan harapannya akan keselamatan. Serta mengingatkan pada ritus Ngayau yang telah lama punah.Â
Pada akhirnya, penyelidikan Sanjana Arunika (memang) membawanya ke sebuah pabrik yang tak selesai dibangun.Â
Di dalam rongsokannya, bukti-bukti dari serial pembunuhan misterius tersimpan. Ada sosok Bujang, seorang paruh baya yang dari mulutnya kisah Ambong dihidupkan.
Tapi siapa sang dalang sesungguhnya tak pernah benar-benar terkuak. Kabut masih tebal, duri masih pejal.
Post-skrip. Andai ada yang menyimpulkan Kabut Berduri adalah film yang berat atau membingungkan, saya kira benar.Â
Jika kita mengacu pada bagaimana kompleksitas kisahnya dibentuk oleh percampuran mitologi populer dan tradisi purba masyarakat Dayak, lanskap yang fragmentatif, serta jaringan kejahatan perdagangan manusia yang berlindung di balik tangan-tangan negara, maka cerita yang seperti ini adalah narasi antropologi yang rumit.