Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Mati Niscaya ala Italia

30 Juni 2024   11:56 Diperbarui: 1 Juli 2024   09:17 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“We lacked the desire to react, to help each other out. We lacked everything today.”- Gianluigi Donnarumma (Football Italia)

Dengan status juara bertahan, Italia datang ke Jerman. 

Tergabung di Grup B, pasukan Spalletti ini beradu game plan dengan Spanyol, Kroasia, dan Albania. Italia menang di partai pembuka melawan Albania, lalu kalah tipis oleh gol bunuh diri dari Spanyol dan bermain imbang di penghujung melawan Kroasia. Hampir saja lewat.

Italia yang meragukan di awal, tapi begitulah Italia yang dikenal sejarah sejauh ini. 

Sejak partisipasi perdananya di Piala Eropa 1968, itu artinya sudah 11 kali keterlibatan, tim ini seolah memiliki kutukan tampil meyakinkan sejak permulaan turnamen. Ditambah lagi, tim ini baru dilatih Spaletti di penghujung 2023.

Mereka akhirnya tersingkir oleh Swiss, negeri kecil yang andai Kurniawan Dwi Yulianto tak pernah bermain sebentar di sana, remaja 90-an mungkin tak pernah tahu ada sepak bola profesional di sana.

Kapten Timnas Italia, Donnarumma di hadapan fans Italia yang kecewa | Footbal Italia
Kapten Timnas Italia, Donnarumma di hadapan fans Italia yang kecewa | Footbal Italia

Nasib yang lumrah belaka. Tersingkirnya Italia adalah nasib yang lumrah bagi juara bertahan. 

Tidak terlalu penting itu terjadi di fase grup atau 16 besar. Dan juga, ketersingkiran semacam sulit dijustifikasi oleh daya saing liga profesionalnya yang terus-terusan melorot.

Maksud saya, Anda jangan lantas bermimpi karena Liga Inggris adalah panggung paling kompetitif, banjir selebritas dan komersialisme maka "Football's Coming Home" bakal kejadian di tahun ini. 

Negeri Tiga Singa ini sudah mencoba Sven-Göran Eriksson dan Fabio Capello, tapi mereka tidak ke mana-mana. 

Sadarilah, sepak bola Eropa bukan Pilpres di Indonesia di mana Prabowo Subianto akhirnya bisa menjadi pemenang. Tak ada subsidi makan gratis yang anggarannya trilyunan di sini.

Italia sudah seharusnya dipulangkan sejak awal dan sebaiknya tidak memecat Spalletti yang racikannya pernah membuat Liverpool semenjana dan Napoli akhirnya boleh memutus bayang-bayang kuasa Juventus sebagai juara Serie A.

Pria ini baru sebentar sekali memegang Tim Nasional.

Alasan-alasan Tersingkir. Tentu saja penyebab Gli Azzurri pulang duluan selalu bisa diringkas dalam beberapa faktor. Misalnya begini. 

Selain sudah tanpa Roberto Mancini yang memilih menguji keilmuannya ke Arab Saudi, Gli Azzurri juga tak lagi dibekali Chiellini, Bonucci, Spinazzola, Acerbi, atau Toloi. Mancini adalah kunci dari transisi yang sukses.

Perubahan apa yang bisa dilakukan oleh Spalletti dalam waktu sebentar ini? 

Yang jelas, pelatih yang satu ini mewakili kecenderungan Italia di masa depan, sepak bolanya menyerang dan menghibur. 

Ini perkara pertama: waktu dan kepercayaan.

Lantas, di edisi 2024, Luciano Spaletti juga memilih tidak membawa Locatelli. Di samping sudah tak ada Verrati atau Pessina. Dan, yang sama fundamentalnya, tim ini tak lagi memiliki yang sentuhan yang serupa Insigne.

Di tahun 2020, sentuhan penyerang Napoli ini melengkapi keindahan Italia yang oleh Roberto Mancini ditantang memainkan sepakbola indah-dalam-menyerang, meninggalkan cattenaccio nan boring itu. 

Insigne adalah sebuah ciri yang redup di Italia. Sesudah era Roberto Baggio, lantas ada Alessandro Del Piero dan Francesco Totti, siapa yang memainkan gaya seperti mereka di 4 tahun terakhir ini? 

Spalletti memang punya nama-nama yang merupakan alumnus edisi Juara Eropa 2020: Donnarumma, Bastoni, Di Lorenzo, Jorginho, Cristante, Barella hingga Chiesa. Nama-nama mewakili modalitas dari masa lalu atau penjaga garis keseimbangan antara tradisi dan pembaharuan.

Pelatih berkepala plontos ini tetap menyertakan debutan muda yang sedang naik daun dari ranah domestik: Calafiori (22), Gatti (24) dan Fagioli (23)--tapi mengapa mesti menggeret bangkotan seperti Stephan El Shaarawy adalah perkara yang cuma diketahui Spalletti.

Luciano Spalletti, pelatih Italia | Football Italia
Luciano Spalletti, pelatih Italia | Football Italia

Kombinasi senior juara dan anggota baru membutuhkan tahapan yang disebut adaptasi dan penemuan chemistry.

Inilah inti perkara kedua. Skuad yang berubah, gaya yang sedang dalam ujicoba awal, dan musim yang jelas berbeda.

Kemudian, di tengah keterbatasannya, Italia kali ini adalah sedikit sekali bernuansa Juventus dan Milan--dua klub yang karena kontribusinya memberi pemain kepada timnas sampai dijuluki "la Fidanzata d'italia".

Bagi beberapa orang, tim ini terlalu Inter-minded. Namun, bagi saya, tak ada yang perlu dibesar-besarkan dengan opsi ini.

Inter Milan adalah juara domestik. Bastoni, Di Marco, Barella dan Darmian layak ada di sini. 

Masalahnya adalah sesudah era Bonucci-Chiellini yang bermain bersama di Juventus bermusim-musim, Spaletti harus menciptakan sistem yang menguatkan senyawa di antara Bastoni dan Califiori atau Gatti-Califiori menuju edisi Piala Dunia 2026. 

Mengapa ini menjadi sorotan? 

Ketika menjadi juara di Piala Dunia 2006, Italia punya Buffon di depan gawang serta Cannavaro dan Materazzi. Sedangkan di Piala Eropa 2020, kita sudah tahu siapa duet di garis belakang. 

Pada pokoknya, tanpa terbangun senyawa yang kuat barisan belakang, Italia selalu akan berhadapan dengan nasib yang sempoyongan, selain kehilangan cirinya yang paling fundamental: seni bertahan tingkat tinggi.

Sekuat-kuatnya Italia berusaha menyerang, lini belakang adalah fondasinya. Ini adalah perkara ketiga.

Tiga perkara yang mengondisikan "kematian yang niscaya" dari Italia di Piala Eropa 2024. 

Penutup. Spalletti masih memiliki dua tahun membangun tim untuk Piala Dunia. 

Kegagalan di tahap awal jelas membuatnya berada dalam tekanan, tak cuma keraguan. Namun di saat yang bersamaan, kondisi semacam ini dibutuhkan untuk membuat proyek Italia paska-juara Piala Eropa kedalam kerangka yang lebih progresif lagi. 

Beri saja waktu dan kesempatan. Dan, terutama bagi fans Juventus, bahwa statusnya sebagai "Kekasihnya Italia"hanya akan kembali jika proyek Thiago Motta berhasil di musim perdananya. 

Tunggu saja Luciano Spalletti bekerja. Forza Italia! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun