Singkat kisah, saya bertamu ke rumahnya yang sederhana. Tidak tersedia cukup banyak perabot. Tapi, yang masih teringat, di dindingnya tergantung logo hijau NU. Dan ia seorang transmigran atau dari keluarga transmigran.
Kami bercakap tak terlalu lama. Tapi dari percakapan ini, saya tahu beliau adalah seorang pengurus di tingkatan Ranting. Beliau juga bercerita kesulitan harian dalam merawat "tradisi orang-orang NU atau orang-orang pesantren" di sini sebagaimana di Jawa.
Tapi di sini adalah Lamandau, sebuah lokasi kebudayaan yang berbeda. Â Kompleksitasnya menuntut energi yang lebih besar.Â
"Amanah harus dijaga, sulit atau mudah, harus dilaksanakan," terangnya. Ada perhatian dari pengurus (di level yang lebih tinggi) atau tidak, tanggungjawab tidak bergantung dari sana.
Sebenarnya saya terenyuh dengan keteguhan hati orang tua ini. Yang semacam ini jelas bukan satu-satunya tapi dengan mendefinisikan amanah sebagai panggilan untuk beramal, ia memilih meletakkan itu semua kepada jenis kemuliaan tertentu.Â
Sampai hari ini, di tahun 2024, saya masih mengenang pertemuan singkat tersebut. Pertemuan dengan orang-orang NU di sudut yang jauh, penuh kesederhanaan, dan pengabdian...
Di antara Lamongan dan Jember...
Di sekitar tahun 2013 hingga 2014, ketika itu Indonesia sedang bersiap untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.Â
Saya berada di sekitar Lumajang dan Jember, bolak-balik, karena membantu seorang kawan yang nyaleg DPR-RI dari Dapil Jatim IV. Kawan ini berikhtiar mengadu nasib dengan Anang Hermansyah, salah satunya. Â
Lumajang dan Jember adalah wilayah dengan ke-NU-an yang cukup kuat, sebagaimana wilayah Jawa Timur pada umumnya. Ada pesantren, ada pengurus NU dengan struktur yang rapi hingga ke desa-desa.Â