Sayangnya, di banyak kasus, umur boleh tua tapi nasib tidak selalu dalam genggaman.Â
Tidak banyak dari klub-klub yang berusia panjang ini bertahan di persaingan puncak atau berhasil menjadi penguasa domestik. Di Italia, misalnya. Hanya ada Juventus (1897), AC Milan (1899) dan Inter Milan (1908) jika kita bicara perolehan juara Serie A.
Sedang di Liga Inggris, hanya ada Manchester United (1878) dan Liverpool (1892) yang dominan. Yang setua mereka, seperti Nottingham Forest (1865) atau Wolverhampton (1877) lebih banyak berjuang sebagai petarung lolos degradasi.
Dengan latar sejarah dan kebanggaan yang bermacam-macam itu, seorang pelatih tidak cukup sekadar memikirkan dan mengembangkan taktik atau gameplan. Seorang pelatih adalah juga juru tafsir yang terus menerus menyuntikan makna dari sejarah, gelar hingga jersey yang digunakan.
Di persilangan inilah, saya kira, membicarakan transisi kepelatihan di sebuah klub menjadi menarik.
Kita tahu persis tidak semua transisi itu berjalan mulus. Manchester United adalah salah satu contoh mutakhir yang representatif. Sejak era Sir Alex Ferguson beristirahat, tim ini masih belum menemukan cara untuk kembali juara; kembali terhormat.
Situasi sebaliknya terjadi pada nasib Real Madrid di La Liga.Â
Walau gonta-ganti pelatih dalam rentang yang pendek, klub yang berdiri sejak 1902 ini tetap saja berhasil menjaga status dominasinya, tak terkecuali di level Eropa. Dengan kekayaan dan ambisinya, klub ini selalu bisa berada di kandidat pertama pemburu titel juara.Â
Sementara itu Juventus di Italia sebagai pemegang titel juara domestik terbanyak jelas mengalami pasang surut dalam dominasi domestik. Statusnya berganti kuasa dengan Milan atau Inter, sesekali Napoli, Roma atau Lazio dalam tiga dasawarsa terakhir.
Karena itu, dalam lintasan narasi yang makro-historis ini, dipilihnya Thiago Motta adalah sebuah transisi penting sejarah Juventus. Sekurang-kurangnya dalam tiga aspek.Â
Pertama, mengembalikan status dominasi dan tradisi juara domestik Juventus. Tidak ada yang mengecualikan harapan ini, terutama sesudah periode Conte dan Allegri.Â