Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Menulis Buku dan Mencintai Papua

31 Maret 2024   13:04 Diperbarui: 30 Desember 2024   08:36 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asal-usul Kelahiran

Di bulan Agustus 2022, di tengah masa-masa rehat paskahidup di Katingan Kalimantan Tengah, saya mendapat tawaran dari kawan-kawan Bentara Papua. Tawaran tersebut adalah mengerjakan buku satu dasawarsa perjalanan organisasi mereka. 

Bentara Papua adalah organisasi masyarakat sipil (OMS) atau Non-Goverment Organization/NGO lokal yang didirikan oleh sekumpulan anak-anak muda sejak tahun 2012 di Manokwari, Papua Barat. Sebagian besar mereka merupakan alumnus Universitas Papua (UNIPA).  

Tawaran profesional ini merupakan tantangan yang serius sekaligus kehormatan mengingat aktivitas kepenulisan saya selama ini hanya sebatas blogger di platform Kompasiana. Saya belum pernah dikontrak untuk menulis dengan tema semacam ini.

Sesudah bersetuju, saya memulai dengan menyusun ide dasarnya. Ide sentral di balik kerangka tersebut adalah meletakan Bentara Papua sebagai salah satu aktor dari Organisasi Masyarakat Sipil yang terlibat dalam usaha-usaha pemberdayaan dan penguatan eksistensi masyarakat adat. 

Dalam pasang surut kerja perubahan ini, Bentara Papua adalah refleksi dari pertumbuhan gagasan dan tindakan kolektif yang terus menerus berkembang seturut perkembangan masyarakat kampung dimana Bentara Papua merumuskan kerja pengorganisasian dan pengembangan sumber daya tempatan. Tentu saja, di dalamnya, interaksi dengan jejaring organisasi masyarakat sipil serta lembaga donor adalah bagian yang mewarnai pertumbuhan tersebut. 

Dengan ide tersebut, bersama-sama kami mendiskusikan kerangka atau outline yang akan menjadi panduan penyusunan buku. Deadline yang disyaratkan untuk menyelesaikan draft versi pertama adalah 3 bulan.

Merealisasi Ide Penulisan

Dari ide sentral dan kerangka penulisan itulah, sembari mengerjakan riset sumber-sumber sekunder yang berserak dari tahun 2012, saya melakukan perjalanan ke kampung-kampung. 

Perjalanan ini bertujuan melihat langsung apa yang sudah dikerjakan kawan-kawan Bentara Papua dan wawancara dengan subyek-subyek kunci yang bermukim di tiga bentang alam sepanjang bulan September hingga Oktober; waktu yang sesungguhnya sangat singkat.

Ketiga bentang alam dimaksud adalah kawasan Pegunungan Arfak, kawasan Sorong Selatan dan Pesisir Raja Ampat. Ketiganya merupakan wilayah utama dimana Bentara Papua melakukan pengorganisasian komunitas, asesmen daya dukung ekologi, krisis dan keberadaan masyarakat adat, potensi sumberdaya alam dan hingga membangun stasiun riset yang menjadi pusat belajar bersama dan pengembangan komoditas tempatan dalam beberapa tahun terakhir. 

Saya tidak pernah menginjakkan kaki di dataran tinggi Anggi, di pinggiran danaunya yang tenang dan mistis. Saya bahkan tidak pernah membaca apapun tentang masyarakat adat di Pegungan Arfak. 

Sebab itu juga bagi saya yang lahir di sebuah kota pesisir bernama Serui, proses mengerjakan buku ini adalah kembali pada kebersahajaan masyarakat suku/adat dan bentang alam Papua.

Saya akhirnya membaca buku Ekologi Papua (yang penyusunanya melibatkan sekitar 76 penulis) dan bertemu dengan konsep konservasi yang berbasis kearifan lokal. Konsep tersebut dikenal dengan prinsip Igya Ser Hanjop yang turun temurun ditradisikan masyarakat suku Hatam; salah satu suku yang mendiami kawasan Pegunungan Arfak. 

Selain ini, saya juga diharuskan membaca laporan-laporan penelitian mutakhir yang lebih pendek dan makalah-makalah yang sudah terbit di tahun-tahun yang lampau.

Di tengah proses itu, saya menikmati udara dingin di ketinggian 2000-an mdpl, mencecap citarasa kopi Arabika dari pinggiran Danau Anggi Laki-laki yang bibitnya dibawa oleh para evangelis di sekitaran tahun 1980-an. Juga menikmati sayuran segar, seperti sawi, wortel dan kentang yang merupakan sumber pertanian utama masyarakat di sini. 

Saya belajar dan takjub. 

Bagian isi buku yang bercerita wilayah Pegunungan Arfak | Dok: S Aji
Bagian isi buku yang bercerita wilayah Pegunungan Arfak | Dok: S Aji

Sesudah dua minggu di Pegunungan Arfak, saya melakukan perjalanan ke Teminabuan, Sorong Selatan. Saya mengunjungi wilayah adat dari masyarakat adat Knasaimos. 

Knasaimos dapat dimaknai sebagai konfederasi adat yang bertahun-bertahun berjuang melawan pembalakan liar, kebijakan transmigrasi sepihak dan rencana ekspansi perkebunan sawit. Dalam perlawanan menjaga tegaknya hak-hak dan wilayah adat, masyarakat Knasaimos berjejaring dengan NGO seperti Greenpeace, Telapak dan Bentara Papua. 

Selama kunjungan lapangan ini, saya menetap di Kampung Manggroholo dan Kampung Sira; dua kampung bersaudara yang pertama kali mendapat ijin Perhutanan Sosial di Papua Barat.

Saya berhasil mewawancarai beberapa tokoh kuncinya dan menyimak ingatan yang tumbuh menjadi perlawanan terhadap ancaman yang mengincar hutan dan hutan sagu--dua ekosistem yang menjadi rumah sekaligus ibu bagi masyarakat adat.

Di samping itu, mendengarkan cerita dari anak-anak muda yang terlibat dalam proses pemetaan wilayah adat dan pengembangan pertanian organik. 

Dan, tak lupa, mendengarkan cerita Mama-Mama Knasaimos ketika membuat tepung dari bahan sagu dan pisang. Di malam hari, mereka memasak papeda dan ikan kuah kuning atau kepiting bakau yang kami santap bersama-sama. Sesekali saya ikut juga makan pinang.

Saya benar-benar menaruh rispek yang tinggi untuk perjuangan yang tidak sebentar apalagi mudah ini. 

Bagian isi buku yang bercerita wilayah adat Knasaimos, Sorong Selatan | Dok: S Aji
Bagian isi buku yang bercerita wilayah adat Knasaimos, Sorong Selatan | Dok: S Aji

Terakhir, saya berkunjung ke Kampung Solol yang terletak di Pulau Salawati, Raja Ampat. Seumur-umur, ini adalah perjalanan pertama ke sebuah kampung pesisir yang berada di sekitar hiruk pikuk pariwisata dunia. 

Akan tetapi, Solol yang terletak di Selat Sagawin tidak membayangkan dirinya ke sana. Orang-orang di Kampung ini berusaha menemukan identitasnya sendiri, dimana gereja dan adat menjadi poros utama pewarisan nilai dan kebudayaan. 

Datang ke Kampung Solol yang tenang, dengan pemukiman tertata dan pohon pinang yang tumbuh di setiap pekarangan juga sebuah monumen besar berupa kapal besar untuk mengenang jasa misionaris di tengah perkampungan, saya dipaksa wajib mempelajari masa lalunya.

Ternyata perkampungan yang kecil ini dibentuk oleh migrasi anak-anak suku, masa-masa perebutan pengaruh kolonial, dan pernah menjadi wilayah satelit yang digunakan Amerika Serikat kala memata-matai aktivitas Jepang di Pasifik, 1940-an. 

Di masa yang lebih mutakhir, wilayah hutan perkampungan ini pernah dirusak oleh aktivitas pembalakan liar sementara proyek konservasi pesisir dan terumbu karang yang disebut dengan Coremap berusaha melindungi sumberdaya baharinya.

Solol adalah perkampungan teduh di pesisir dengan masa lalu yang penuh gejolak. Di sini, saya terkenang kampung kelahiran, Serui.  

Pendek kata, di tiga bentang alam yang mewakili kompleksitas dataran tinggi, dataran menengah dan dataran pesisir Papua Barat, saya mengalami pembelajaran yang sangat berharga. 

Bertemu cukup banyak orang, mendengar dan merekam kesaksian, serta menulis ceritanya adalah perjumpaan maknawi yang sungguh berharga. Belum lagi studi terhadap sumber-sumber sekunder yang melengkapi cerita-cerita dari masyarakat adat.

Proses penulisan buku ini membuat saya jatuh cinta kesekian kali kepada Tanah Papua.

Terima kasih

Untuk itulah, saya sangat berterima kasih kepada seluruh staf Bentara Papua, khususnya kepada manajemen yang mempercayakan penulisan buku ini kepada seorang blogger. Termasuk juga para pendiri yang bersedia diwawancarai dan mereka yang sehari-hari menjadi pengorganisir di setiap kampung.

Bersamaan itu, terima kasih dan rasa hormat yang tinggi wajib saya tujukan kepada Tete, Bapa, Mama dan Kaka-kaka di sekitar Danau Anggi, Pegunungan Arfak, wilayah Adat Knasaimos di Sorong Selatan, dan di Kampung Solol, Pulau Salawati Raja Ampat. 

Tanpa kehadiran mereka, bersama ingatan dan cerita, apa yang disebut sebagai satu dasawarsa perjalanan Bentara Papua tak pernah bakal mewujud dalam kontribusi lokalitas yang kuat.

Dengan kekurangan di sana sini, saya berharap buku Make it Happen ini boleh menjadi semacam "kaca benggala" dimana kawan-kawan di Bentara Papua melihat perjalanan dirinya. 

Buku sederhana ini mungkin bisa menjadi sumbangan refleksi dari organisasi anak-anak muda Papua yang berani merumuskan mimpi dan mengerjakannya secara konsisten di tengah-tengah masyarakat adat di Papua Barat. Mudah-mudahan buku ini dapat pula mengisi kekosongan narasi dari geliat OMS di Tanah Papua yang kita cintai.

Di penghujung, saya teringat kata-kata Nelson Mandela, pejuang kesetaraan hak asasi manusia yang melawan penindasan apartheid di Afrika Selatan. Kata-kata tersebut adalah It always seems impossible until it's done!

Saya kira, frasa ini mewakili apa yang sudah dicapai Bentara Papua dalam sepuluh tahun terakhir ini. Hormat!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun